Catatan Ceramah Gus Ulil Abshar Abdalla dalam Pengajian Umum Pitulasan Menara Kudus
Oleh: Arif Widianto
nujepara.or.id- Imam Ghazali adalah ulama yang luar biasa. Beliau ini adalah kiblatnya warga Nahdlatul Ulama (NU) di bidang tasawuf. Kalau kita baca AD/ART-nya (anggaran dasar/anggaran rumah tangga), NU itu cirinya tiga. Pertama mengikuti akidah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Kedua, mengikuti salah satu dari mazhab empat. Ketiga, mengikuti tasawuf.
Dalam tasawuf ini ada dua ulama yang jadi panutan. Pertama Imam Aljunaid al-Baghdadi. Kedua adalah Imam Al-Ghazali. Sebetulnya kalau kita baca tulisannya mbah Hasyim Asy’ari, yang dijadikan panutan malah tiga. Atau dua, tapi yang kedua adalah Imam Asy-Syadzili, pendiri dari tariqah Syadziliyah yang salah satu pengikutnya adalah Imam Al Busyiri, pengarang kitab Burdah. Salah satu bait kitab ini dijadikan pujian di kampung-kampung.
Imam Ghazali terkenal dengan kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Imam Ghazali bukan saja ahli tasawuf tapi juga ulama yang lengkap. Berbeda dengan sarjana sekarang yang keilmuannya harus linier, misalnya S1 tarbiyah, maka S2 dan S3-nya juga harus tarbiyah. Kalau tidak dia tidak bisa mengajar. Itulah bedanya ulama dahulu dan sekarang. Ulama sekarang agar bisa makan, ilmunya kecil dan linier. Ulama zaman dulu itu ilmunya lengkap, mereka berilmu dalam ilmu syar’iyah (agama) dan juga ilmu aqliyah. Imam Ghazali menguasai hampir segala jenis ilmu: ilmu agama, hadis, fikih, tafsir, ilmu alat, dan juga ilmu-ilmu dalam bahasa sekarang ilmu umum atau non agama. Meski tidak belajar khusus soal kedokteran, Imam Ghazali menguasai ilmu kedokteran. Imam Ghazali juga ahli fikih meski kitabnya tidak populer diajarkan di pesantren. Selain itu beliau juga ahli dalam filsafat, maka tidak relevan jika ada yang menyebut beliau anti-filsafat. Imam Ghazali juga ahli dalam tasawuf dan ilmu mantiq (logika atau cara berpikir).
Imam Ghazali inilah yang membuat umat Islam di Asia Tenggara, di Indonesia, Malaysia, dll menjadi seperti ini karena kitabnya Ihya’ Ulumiddin. Apa cirinya Islam yang dibentuk oleh Imam Ghazali? Cirinya adalah di tengah-tengah, moderat.
Imam Ghazali “nganggit” kitab Faishal At-Tafriqah Bain al-Islam Wa Zandaqah, saya ngaji ini selama Ramadan tahun ini. Kitab Faishal ini ceritanya unik.
Imam Ghazali ini orang yang luar biasa alim, tapi beliau pernah dikafirkan. Jadi kalau ada orang sekarang dikafirkan itu tidak usah sedih, Imam Ghazali sealim itu juga pernah dikafirkan. Kitab Ihya’ itu dulu pernah dibakar dan diharamkan oleh ulama di Andalusia. Imam Ghazali pernah dikafirkan oleh seseorang, umat Islam yang lain, kemudian beliau dilapori oleh santrinya yang sedih karena kiainya dikafirkan oleh orang lain. Kemudian Imam Ghazali mengarang kitab ini.
Apa kata Imam Ghazali dalam kitab ini? Dalam kitab ini Imam Ghazali membuat definisi apa yang disebut Islam dan apa yang disebut kafir.
Menurut Imam Ghazali, iman itu definisinya adalah percaya (at-tashdiq) atas semua yang dikabarkan, diceritakan, dan diajarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Iman itu intinya ini, membenarkan atau percaya kalau semua yang diajarkan oleh Kanjeng Nabi itu benar.
Imam Ghazali menerangkan lebih jauh bahwa kalau kita percaya segala yang dikabarkan dan diajarkan Nabi SAW, terutama tentang yang ghaib seperti surga, neraka, kebangkitan setelah kita mati, tentang sirotol mustaqim, malaikat, jin, dst. Kalau kita semua membenarkan dan percaya semua itu benar-benar ada, maka kita beriman.
Kafir artinya tidak percaya (takdzib). Kelihatannya sederhana, iman percaya, kafir tidak percaya. Nah, sekarang soal percaya hal-hal ghaib itu ada. Tapi ada (maujud) itu artinya apa? Ada itu maksudnya apa?
Ini saya kasih contoh: hape ada, mic ada, jenengan ada, Gusti Allah juga ada. Apakah ada, ada, tadi itu sama nggak? Apakah samanya jenengan sama dengan handphone? Setan juga ada. Kok semua ada.
Konsep ada, menurut Imam Ghazali ada 5 (lima) tingkat.
Yang pertama, ada dalam wujud dzati (ذاتي) atau zatnya. Artinya ada barangnya.
Yang kedua, ada yang namanya ada cuma hanya dalam penglihatan orang tertentu tapi tidak ada barangnya. Seolah-olah bendanya bisa dilihat tapi nggak ada barangnya. Contohnya orang mimpi. Anak muda baru lihat gadis cantik, saat tidur terbawa ke mimpi. Dalam mimpi dia seolah-olah melihat gadis itu. Itu ada “hissi” (حسي).
Yang ketiga, ada yang disebut wujud “khoyali” (خيالي). Wujud khayali ini contohnya ada orang ziarah ke Menara Kudus, lalu dia kembali ke rumah. Saat dia di rumahnya, memori akan Menara Kudus masih ada di pikirannya. Dia masih diingat olehnya, Menara Kudus, jenang kudus, semua diingat, meski barangnya tidak ada.
Yang keempat, ada secara aqli (عقلي) atau akal. Contohnya ada secara akal adalah angka. Jenengan pernah lihat angka dua? Tetapi itu bukan wujud dua. Itu adalah tulisan angka dua. Angka dua bisa berbentuk “2” atau angka arab. Tetapi ini simbol. Ini ada gelas dua, jumlahnya dua. Tapi ini bukan angka dua. Ini namanya wujud aqli.
Yang kelima, wujud syabahi (شباهي), wujud yang tidak ada barangnya tapi mirip barang yang lain. Saya tidak akan terangkan wujud yang terakhir ini karena agak rumit.
Apa maknanya lima tingkatan wujud ini? Saat Anda mau menyebut orang lain kafir atau iman, itu harus dilihat dulu. Tuduhan kafir itu maksudnya Anda menuduh bahwa orang lain tidak percaya bahwa apa yang diajarkan oleh Kanjeng Nabi itu tidak ada.
Nah karena tuduhan tidak ada itu di level mana? Ada dzati, hissi, khoyali, aqli, atau syabahi? Menurut Imam Ghazali kalau ada orang percaya pada apa pun yang dikhabarkan Nabi Saw sebagai ada dalam pengertian lima tingkatan ada itu tadi, berarti dia masih iman. Kalau ada orang tidak percaya ajaran Nabi Saw dalam lima tingkatan tadi, maka orang itu kafir.
Saya berikan contoh, kita ini warga NU punya akidah, bahwa Allah punya sifat banyak. Sifat pokok ada 20, seperti diajarkan di sekolah-sekolah dalam aqidatul awwam. Misalnya, Allah punya tangan. Ini maksudnya apa? Tangan-Nya Allah di atas tangan manusia. Al Qur’an mengajarkan Allah punya tangan. Jenengan disebut beriman kalau jenengan percaya salah satunya yang diajarkan Al Qur’an salah satunya bahwa Allah punya tangan.
Apakah ada di sini dzati atau bagaimana? Kalau menurut akidah Asy’ariyah, Allah punya tangan itu betul-betul ada, itu bukan artinya dzati. Tidak mungkin Allah punya tangan seperti tangan manusia. Karena sifat Allah tidak sama dengan makhluknya. Maka mustahil arti tangan itu dzati, lalu artinya ada ini artinya apa? Menurut akidah Asy’ariyah ini artinya aqli. Apa artinya, fungsi tangan ini untuk apa? Tangan ini biasanya untuk memberi, melakukan sesuatu. Jadi kalau dikatan tangannya Allah, artinya kekuasaan Allah.
Tetapi ada sebagian golongan Islam yang memaknai tangan ini tangan sungguhan, cuma tangannya tidak seperti tangan manusia. Kelompok ini (saya tidak akan sebut namanya) biasanya menuduh kita (jamaah NU) kafir. Ini yang dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa kita tidak bisa menuduh orang-orang yang mengikuti aqidah Asy’ariyah ini kafir karena kita masih mempercayai adanya tangan Allah secara aqli.
Jadi kalau kelompok yang masih percaya ajaran Nabi dalam wujud dzati, dia masih muslim. Percaya dalam wujud khoyali, iman. Wujud hissi, iman. Wujud aqli, iman. Wujud syabahi, iman.
Jadi, iman itu cakupannya luas. Apa intinya? Jenengan jangan gampang mengkafirkan orang-orang Islam. Itulah inti ajaran kitab Faishal al-Tafriqah.
Ini sebetulnya menjadi ciri dari umat Islam seperti NU. Ini ciri kita sebagai umat Islam Ahlusunnah wal Jamaah an Nahdliyah. Seperti ajarannya Imam Ghazali dan imam-imam lain kita ini tidak gampang menganggap orang yang berbeda itu kafir.
Dan saya merasa inilah yang menjelaskan kenapa ajaran Islam mudah tersebar di mana-mana, termasuk di Indonesia dan nusantara. Karena watak ajarannya di tengah-tengah. Tidak mudah menuduh orang. Tidak mudah mengkafirkan orang.
Salah satu ciri khas dari ajaran Ahlussunah wal Jamaah adalah mengikuti tasawuf. Intinya kitab Ihya’ adalah tasawuf. Salah satu ajaran tasawuf yang diajarkan sufi-sufi kita zaman dulu salah satunya oleh Imam Junaid al-Baghdadi, ajarannya dalam kaidah sederhana: “Launul ma’i launul ina’i.”, artinya “warnanya air itu sesuai dengan warna cangkir atau gelasnya”. Apa maknanya kata-kata ini?
Kebetulan gelas saya ini tidak ada warnanya. Tapi jenengan bayangkan gelas ini warnanya merah. Jenengan menaruh air. Dilihat dari luar, jenengan lihat warna airnya seperti berwarna merah, kan? Jenengan ganti gelasnya berwarna kuning, airnya seolah-olah berwarna kuning. Jenengan ganti gelasnya berwarna coklat, airnya seolah-olah berwarna coklat. Airnya berubah warna tidak? Warna air tetap warna air. Tetapi warna air mengikuti wadahnya ini. Tapi sejatinya warna air ya seperti itu warnanya. Hanya saja kelihatan oleh yang melihat warnanya berubah-ubah merah, biru, seolah-olah berubah, tapi tidak berubah.
Itulah filosofi para wali dulu yang menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Ke manapun mereka pergi membawa Islam. Islamnya tidak berubah warna.
Tetapi ketika datang ke Jawa, memakai gelas Jawa, Islamnya kelihatannya Jawa. Ketika datang ke tanah Minang atau Aceh, kelihatannya seperti warna Minang atau warna Aceh.
Itu yang membuat Islam yang dibawa oleh para wali dulu bisa beradaptasi dengan mudah, dengan lingkungan yang beragam. Saya sampai sekarang belum selesai mengagumi kenapa Mbah Sunan Kudus kok membangun menara? Itu ceritanya gimana? Kok warnanya seperti arsitektur orang Hindu? Itu gimana ceritanya? Jenengan cari di fikih tidak ada. Di Taqrib nggak ada. Di Fathul Mu’in tidak ada. Dalilnya tidak ada.
Tapi dalilnya itu tadi. Warnanya air seperti seolah-olah warna gelasnya. Airnya sendiri tidak berubah. Inilah yang menjelaskan Islam yang dibawa oleh para wali karena penyebar Islam sebagian besar para wali. Para ulama umumnya sibuk mengarang kitab dan mengajar murid-muridnya. Yang punya waktu banyak untuk keliling ke mana-mana itu para wali.
Kiai itu umumnya kebanyakan mengaji dan mengarang kitab. Jadi sebenarnya tidak punya banyak waktu untuk menyebarkan Islam. Itu yang menjelaskan kenapa yang menjelaskan kenapa yang menyebarkan Islam dari dulu itu para wali dan para pedagang. Para pedagang ini sebenarnya yang membawa para wali, diberi tumpangan kapal, diberi pesangon, itu tugas mereka. Tapi yang membawa itu para wali. Setelah para wali berhasil mengajarkan Islam, ulama didatangkan untuk mengajar.
Para wali itu, filosofi dakwahnya kemana pun mereka pergi, itu melihat di tempat itu kebudayaannya apa? Ada istiadatnya apa? Itu semua dipakai asal tidak bertentangan ajaran Islam. Asal tidak bertentangan dengan hukum syariat. Semua dipakai.
Makanya Islam ke mana-mana gampang diterima karena sifatnya itu tadi, tidak mudah mengkafirkan, semangatnya merangkul. Yang kedua mendakwahkan Islam dengan menggunakan warna setempat. Pakai peci, oke. Pakai blangkon, oke. Pakai blankon atau iket, monggo. Nggak mesti namanya Kiai harus memakai pakaian tertentu, tidak. Pakaian bisa berubah sesuai dengan tempatnya asal sesuai dengan agam. Itulah ciri khas ajaran ahlussunah wal jama’ah.
Salah satu terjemahan ajaran tadi adalah dalam politik. Ciri khas umat Islam ala NU ini dengan lainnya adalah memang tidak terlalu ribut dengan wadahnya. Yang penting airnya sendiri. Karena itu ajaran para wali ini di mana pun jenengan hidup, apa pun sistem yang mengatur masyarakat itu, kamu hidup di sana ndak masalah.
Mau negaranya kerajaan, mau negaranya republik, mau negaranya demokrasi, mau negaranya otoriter, mau apa pun sistemnya, jenengan bisa hidup di negara itu. Sebagaimana itu tadi para wali, jenengan bisa hidup di Jawa bisa, di Iran bisa, di Eropa bisa, di mana pun bisa. Adat istiadatnya beda tidak masalah. Tidak mempersoalkan masalah wadahnya. Inilah kenapa Islam bisa ke mana-mana. Karena sistem politik tidak dianggap sebagai masalah keagamaan. Al-imamah itu bukan masalah Diniyah, tapi masalah duniawiyah. Kalau Anda belajar fikih di pondok, masalah imamah (politik), itu tidak masuk di dalam bab fikih. Ada pembahasan terpisah di luar fikih biasa. Imamah artinya kekuasaan, pemerintahan, kepemimpinan itu tidak dibahs dalam fikih standar. Ada fikih sendiri namanya fikih syiyasah. Itu bukan masalah pokok.
Mau demokrasi, mau kerajaan, mau monarki, monggo silakan. Asal kita masih bisa melaksanakan ajaran Islam, bisa ibadah, bisa menjalankan ajaran agama. Mau NKRI tidak apa-apa.
Nah ada sebagian kelompok dalam Islam yang berpandangan berbeda. Kalau tidak bentuknya ABC, maka itu bukan Islam, karena itu harus berjuang menegakkan “gelas” itu tadi. Kalau gelasnya tidak kuning, itu bukan Islam. Kalau gelasnya warna lain, itu kafir. Kita tidak begitu. Filosofinya kita, warna air tetap sama di mana pun bentuknya.
Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=Q_k3MA0V6O4
(Arif Widianto, Santri Online (SO) Ngaji Ihya’ Gus Ulil Abshar Abdalla)