Menu

Mode Gelap
Tanggap Bencana, PCNU Jepara Gelar Rakor, Jalin Sinergi dengan Pemerintah dan Elemen Lainnya Belajar dari Kasus Gus Miftah : Dakwah Harus Mengutamakan Akhlak Arafani, Mahasiswi UNISNU Sabet Prestasi di Lomba Esai Hari Santri Lakpesdam PWNU Jateng Pengajian Umum Gus Muwafiq, Sedekah Bumi Desa Tanjung Jepara NU Penjaga NKRI, Menengok Perkembangan NU Secara Global

Opini · 22 Des 2019 07:36 WIB ·

Gapuro, Kalimosodo, Kembang 7 Rupo, Kenongo Kanthil. Apakah itu?


 Gapuro, Kalimosodo, Kembang 7 Rupo, Kenongo Kanthil. Apakah itu? Perbesar

Oleh: Muhammad Miqdad Sya’roni, alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi Prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Unisnu Jepara

Menarik, ada sebuah cerita Waqila (dikatakan) dari Sunan Kalijaga salah satu anggota Walisongo. Cara unik penuh falsafah, menarik masyarakat untuk masuk Islam dengan dibuatkan “Gapuro”.

Asluhu Ghofuro (diampuni dosanya) yang mana gapura tersebut harus dilewati orang yang akan masuk masjid, setelah melewati gapura maka ia harus pegang tiket yaitu “Kalimo Sodo”.

Kalimo Sodo asluhu Kalimat syahadat (syahadatain) sebagai penanda masuk Islam. maka setelah itu diberikanlah daun/pohon “Salam” sebagai wujud Islam itu selamat di dunia dan akhirat.

Setelah massa kumpul (jamaah.red), maka Sunan Kalijaga Sayyid Raden Sahid mengajak masyarakat untuk selalu berbuat baik (pitutur/mauidhoh hasanah) dengan dikenalkan akhlak Kanjeng Nabi (baca maulid.red) yang bertujuan untuk meneladani Kanjeng Nabi.

Seusai memberikan pitutur kepada masyarakat atau jamaah yang  hadir, maka tak diperbolehkan untuk pulang, maka dibuatlah tumpeng, ingkung/dekem, diajaklah semua jamaah yang hadir bersama-sama untuk makan tumpeng dan dekem yang telah didoakan. Menjadi tradisi kita setelah maulid kadang ada makan bersama, ini merupakan asli tradisi kita di Nusantara, yang diajarkan oleh para Walisongo salah satunya adalah Sunan Kalijaga (Raden Syahid).

Seusai makan bersama, dibuatkanlah “kobok-an” (air yang ditaruh diwadah untuk cuci tangan setelah makan.red) dengan 3 wadah, yang ke 1 diisi kembang 7 rupa, wadah ke 2 dikasih kembang kenongo (kenanga.red), wadah ke 3 kembang kanthil.

Falsafah yang dibuat Sunan Kalijaga, diantaranya:

1. Kembang 7 rupa, hidup ini banyak rupa dan warnanya ada merah, kuning, hijau, biru, hitam, jingga, dst. Beragam dan hiterogen hidup di masyarakat. Maka saling menghargai dan menghormati demi terciptanya kerukunan, guyup dan kedamaian bersama. Kalau masyarakatnya guyup saling menghargai keberagaman maka, akan damai tentram dan sejahtera.

2. Kembang kenongo, maka boleh “ngono” (seperti itu) boleh “ngene” (seperti ini), keno ngunu, keno ngene (Boleh begitu boleh begini) ya karena hidup itu penuh warna dan pastinya setiap manusia itu berbeda beda. Islam yang dibawa oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw adalah Islam yang rahmatan Lil ‘alamin (Rahmat bagi seluruh alam semesta), rahmat adalah kasih sayang. Gusti Allah Sang Maha Rahman, semua makhluk dikasihi dan disayangi oleh-Nya tanpa terkecuali. Pada intinya dalam kehidupan bermasyarakat harus memiliki budaya, maka manusia harus punya adat.

3. Kembang Kanthil, yang paling penting hati kita masih “kumanthil” (ada dalam hati) untuk selalu ingat kepada Allah SWT. Wujudnya dzikir (mengingat), dzikir ada 3:

a. Dzikir bilisan, dengan lisan ataupun ucapan dari mulut.

b. Dzikir biljanan, dengan hati dalam batiniyah yang tak tampak oleh kasat mata.

c. Dzikir bil arkan, wujudnya dengan shadaqoh yaitu memberi kepada siapa saja yang membutuhkan. Shadaqoh merupakan sebagai tolak bala’.

Dzikir itu ingat kepada Allah dan bershalawat kepada Nabiyallah Muhammad Saw. Dalam tataran dzikir ada di sebut dzikrulloh, wujudnya dzikir pada Allah. Shalawatulloh wujudnya bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw beserta keluarga dan sahabatnya. Serta kalamulloh wujudnya adalah baca Al Qur’an serta memahami apa yang menjadi intisari (esensi) Kalamulloh.

Kembang merupakan perwujudan dari laku atau sikap hidup (akhlak) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Masyarakat Nuswantoro (Nusantara) itu terdiri dari berbagai macam suku bangsa, tidak meninggalkan adat istiadat dan budayanya yang sudah ada. Kalau diibaratkan, adat dan budaya itu sebagai “wadah” ya tetap terlihat sama, namun isinya yang dirubah dengan berdasarkan iman tauhid yg sama, yaitu beriman kepada Allah Sang Penguasa Jagat.

Merupakan falsafah hidup yang sangat luar biasa yang dicontohkan oleh para Walisongo kepada kita semuanya.

Yuk… Kita teladani bersama! (dari berbagai sumber)

Artikel ini telah dibaca 18 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

The Root of The Peak dalam Konsep Keilmuan

7 Juni 2024 - 11:08 WIB

Akselerasi Khidmah NU dan Keberjamaahan

17 Februari 2023 - 05:47 WIB

Hari Santri Nasional Dan Pembangunan Peradaban

24 Oktober 2022 - 04:21 WIB

Shiddiqiyah : Thoriqoh Yang Mu’tabar (otoritatif) ataukah yang “nrecel” (Keluar Jalur) ?

15 Juli 2022 - 07:58 WIB

Jepara, Investasi Agrobisnis dan Jihad Pertanian NU

30 Mei 2022 - 02:50 WIB

Santri dan Filologi Islam Nusantara

25 April 2022 - 03:21 WIB

Trending di Hujjah Aswaja