Menu

Mode Gelap
NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 ) Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat ( 2 )

Hujjah Aswaja · 31 Mei 2023 01:21 WIB ·

Meluruskan Politik Identitas


 Ilustrasi NU di perkampungan Perbesar

Ilustrasi NU di perkampungan

nujepara.or.id – Pembelahan dukungan politik pada kontestasi pemilu 2014 dan 2019, menyisakan labelisasi yang tidak berujung. Labelisasi itu adalah tuduhan pemanfaatan politik identitas pada kubu politik tertentu. Ironisnya, tuduhan-tuduhan itu seolah mengalami kesemrawutan makna manakala diperbandingkan antara definisi politik identitas, identitas politik, mobilisasi politik, atau pemanfaatan identitas dalam politik.

Dalam artikel ini perlu istilah pelurusan, karena di kalangan masyarakat termasuk kalangan cerdik pandai secara mudah menyebut politik identitas terhadap fenomena perbedaan dalam aspirasi politik. Belum lagi jika kita memperbandingkan antara fenomena politik aliran yang ada sejak Indonesia baru lahir, dengan pemaknaan tentang politik identitas itu sendiri.

Suatu identitas dapat berubah-ubah sesuai dengan faktor-faktor yang memengaruhi, sekaligus kepentingan yang melatarbelakangi. Kesadaran identitas kolektif sebagaimana Manuel Castells misalnya, dapat terbentuk jika ada kepentingan yang terpinggirkan, upaya legitimasi kelompok lain, maupun konstruksi tujuan kepentingan tertentu. Ketiga model tersebut tentu memiliki korelasi dalam gerakan ekspresi politik yang memanfaatkan identitas. Pertanyaan utama terkait identitas dalam pertarungan politik adalah kapan identitas menjadi masalah dan kapan identitas tidak menjadi masalah.

Framing identitas yang seringkali digunakan sebagai mobilisasi politik elektoral adalah identitas agama. Pada awal reformasi 1998, Indonesia mengalami kondisi liberalisasi politik dengan kebebasan mendirikan partai politik. Politik aliran atasnama agama berkembang seperti era 1950-an. Sebanyak 48 partai peserta pemilu 1999, terdapat 20 partai politik menggunakan identitas Islam dan berbasis massa umat Islam, 3 partai menggunakan identitas Kristen dan Katolik, sisanya berorientasi nasional dan sosialisme.

Agama pada awal reformasi masih menjadi alat mobilisasi pemilih mayoritas, kendati partai-partai atasnama agama belum pernah menjadi pemenang pemilu di Indonesia. Pasca-pemilu 2004, identitas agama bahkan secara massif dijadikan strategi mobilisasi partai. PDIP merintis Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) sebagai organisasi sayap partai untuk merebut hati umat Islam. Partai Gerindra bahkan membentuk sayap partai berdasarkan seluruh agama yang ada di Indonesia. Gerindra mendirikan Gerakan Muslim Indonesia Raya (Gemira), Kristen Indonesia Raya (Kira), Gema Sanathana Dharma Indonesia Raya (Gema Sadhana), dan Persatuan Tionghoa Indonesia raya (Petir).

Ditilik dari catatan sejumlah kontestasi, terlihat bahwa pemilu 2004 sampai 2014 telah melahirkan corak baru perpolitikan nasional. Pemilih melupakan ideologi partai dan cenderung memilih tokoh yang dianggap menguntungkan bagi pribadi pemilih. Politik aliran sudah dianggap selesai karena masing-masing partai politik sudah memiliki tokoh politik dari lintas identitas, menyuarakan aspirasi lintas agama, dan sama-sama memanfaatkan identitas agama dalam komunikasi politik. Realitas politik demikian dikenal dengan idolisasi yang mengalahkan ideologi partai.

Sejumlah apologi dikilahkan tentang lunturnya politik aliran. Tipologi santri, priyayi, dan abangan, sesungguhnya berantakan karena kelompok itu sudah tersebar di semua partai. Kelompok Jokowi misalnya, secara resmi terdapat PKB yang terlahir dari ruh Nahdlatul Ulama (NU). Representasi NU dalam pencalonan 2014 ditampakkan melalui sosok Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden. Pada kelompok Prabowo, secara resmi berdiri PKS, PAN, PPP, dan PBB. Prabowo menjadikan Hatta Radjasa sebagai calon wakil presiden yang merupakan representasi warga persyarikatan Muhammadiyah. Polarisasi dua kutub aliansi yang sudah mencair dari beragam identitas, kemudian memanfaatkan stigmatisasi politik identitas.

Demokrasi memberikan pelajaran bahwa seseorang dan suatu kelompok politik harus dapat hidup bersama dengan lawan politik. Kontestasi kekuasaan yang menempatkan agama atau etnis sebagai bagian dari strategi mobilisasi, merupakan konsekuensi kebebasan berpolitik di masyarakat. Kebebasan tersebut berdampak pada munculnya perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat. Dengan demikian, toleran adalah kesediaan memberikan hak-hak kepada pihak yang berbeda atau membiarkan seseorang atau suatu kelompok melakukan aktivitas yang menjadi haknya. Sebaliknya, jika muncul kecenderungan menolak aktivitas dan keberadaan kelompok yang berbeda maka menjadi indikator intoleransi.

Politik identitas adalah tampilan dari intoleransi politik. Penguatan politik identitas di sejumlah kawasan, diwarnai upaya penghilangan peran politik terhadap lawan. Amerika Serikat misalnya, terjadi diskriminasi hukum antara orang kulit hitam dengan kulit putih. Gerakan perjuangan Marthin Luther King Jr sejak 1955, belum mampu mengakhiri diskriminasi warna kulit sampai kemunculan Donald Trump. Presiden dari Partai Republik itu secara tegas melarang muslim dan imigran masuk ke Amerika.

Intoleransi politik berkembang juga di kawasan Eropa. Diskriminasi minoritas migran diglorifikasi melalui psikologi keterancaman bahwa identitas asli Eropa akan hilang. Konstruksi identitas Eropa meningkatkan kebencian anti-muslim atau islamofobia di sejumlah negara. Psikologi ketakutan identitas terjadi juga di India. Partai Bharatiya Janata (BJP) sebagai pemenang pemilu, mengesahkan regulasi anti-muslim melalui Citizenship Amandment Act. Narendra Modi sebagai perdana menteri India, melakukan mobilisasi dengan mengampanyekan nasionalisme Hindu tanpa perwakilan identitas lain.

Akar sejarah perpolitikan di sejumlah kawasan, tentu berbeda dengan sejarah politik nasional. Mobilisasi identitas yang berkembang sampai disalahfahami sebagai politik identitas, sesungguhnya sekadar komunikasi merebut massa pemilih. Banyak faktor meningkatkan elektabilitas kontestan. Pertama, aspek sosiologis yang didekati melalui relasi kesamaan pada sisi agama, etnik, gender, pendidikan, maupun latar belakang sosial. Kedua, aspek psikologis yang didekati melalui hubungan-hubungan patronase dan historisitas ideologi partai. Ketiga, aspek rasional dapat didekati melalui hasil yang akan diperoleh dengan memberikan dukungan politik. Persoalannya, terlalu mudah kemudian mobilisasi atasnama agama langsung disebut politik identitas.   

Psikobiografi setidaknya menjadi faktor penentu bagi pemilih yang lebih mengedepankan aspek emosional dan sosiologis. Pada posisi tersebut, merebut basis massa besar di Pulau Jawa merupakan kunci kemenangan, baik karena faktor suku mayoritas maupun keberadaan warga NU dan Muhammadiyah yang terpusat di Jawa. Pulau Jawa melahirkan ketimpangan demokrasi karena memenangkan Jawa yang hanya lima provinsi, sudah setara 50 persen lebih dari keseluruhan suara nasional. Tentu akan menjadi pertanyaan, apakah dianggap politik identitas jika memilih kandidat karena identitas sebagai orang Jawa atau karena aktivis NU dalam kampanye politik.

Komodifikasi politik identitas dalam kontestasi pilpres pada dasarnya dimanfaatkan sebagai penciptaan diferensiasi politik yang tepat. Komposisi agama dan etnis pemilih dengan jumlah yang berimbang pada suatu wilayah, maka komodifikasi politik identitas akan bekerja lebih serius. Pada posisi demografis pemilih lebih majemuk, maka politik identitas dengan isu SARA tidak akan efektif digunakan. Kemampuan untuk merumuskan diferensiasi politik menjadi sangat penting dalam penciptaan identitas politik itu sendiri. Pertanyaannya, apakah bagian dari politik identitas jika mengampanyekan memilih pasangan yang bisa tahlil atau pernah menjadi pengurus di NU?

[Muh. Khamdan, Dewan Pembina Paradigma Institute,

Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

dan Pengurus Lembaga Ta’lif wan Nasyr NU (LTNNU) MWCNU Nalumsari]

Artikel ini telah dibaca 105 kali

Baca Lainnya

Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat (18)

29 Maret 2024 - 07:10 WIB

Ilustrasi burdah syarah (18)

Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat (17)

27 Maret 2024 - 22:04 WIB

Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat

Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat (16)

27 Maret 2024 - 06:15 WIB

Kiai Hisyam Zamroni (Wakil Ketua PCNU Jepara), Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat.

Sepekan, NU PB Bantu 1000 Paket Sembako Korban Bencana

26 Maret 2024 - 05:43 WIB

NU PB Kabupaten Jepara menyerahkan bantuan 1000 paket sembako dan alat-alat kebersihan ke warga enam desa terdampak bencana banjir di Kota Ukir.

Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat (15)

26 Maret 2024 - 05:34 WIB

Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat

Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat (14)

25 Maret 2024 - 06:17 WIB

Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat (14)
Trending di Hujjah Aswaja