Oleh: Ahmad Subchan*)
Idulfitri dijadikan titik tolak memasuki awal hidup otentik dengan ditandai kesalehan spiritual yang berjalan beriringan sekaligus dengan kesalahan sosial, kesalehan kemanuisian, kesalehan manajemen, kesalehan politik, dan kesalehan birokasi. Kesalehan kemudian menjadi etika public yang terobyektivitas ke ruang-ruang publik dan Negara.
Manusia yang fitrah dan tercerahkan, mampu mengobyektivikasi kesalehan personal dan spiritual pada kesalehan publik. Inilah ruang kesalehan yang menjadi ujian terpenting kesalehan spiritual kehadirat Tuhan. Jika selama ini kita sudah merasakan saleh secara spiritual, ujian terpentingmya justru menerjemahkan hal itu pada kesalehan publik. Jika berhasil, niscaya berkontribusi positif terhadap harmoni sosial, harmoni Negara, bahkan harmoni dunia.
Upaya penerjemahan kesalehan spiritual menjadi kesalehan publik ini diharapkan memunculkan sebuah kejernihan cara pandang terhadap ukuran moralitas, dan komitmen untuk selalu memihak pada kejujuran, keadilan, dan solidaritas kemanusian. Inilah yang diharapkan tumbuh setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa kemudian prestasi itu disyukuri pada hari wisuda Idulfitri.
Dalam tradisi Jawa khusunya, pada hari raya Idulfitri setiap orang diutamakan mengenakan baju baru yang sesungguhnya secara filosofis dimaksudkan sebagai ekspresi atau verbalisasi simbolik dari suasana jiwa yang baru dan serta bersih setelah sebulan melakukan penyucian diri. Dengan munculnya suasana batin yang serba bersih itu, diharapkan seorang muslim lebih mudah membangun solidaritas kemanusiaan khususnya sesama orang muslim dan lebih luas lagi dengan sesama hamba Tuhan yang lain.
Bentuk syukur di hari Idulfitri ini bisa muncul dan berwujud bermacam-macam aktivitas-aktivitas ibadah. Di antaranya berwujud bagaimana memaknai atau menerjemahkan Idulfitri di tengah pandemi Covid-19 sebagai upaya membangun solidaritas sosial yang diharapkan masyarakat selalu memiliki rasa optimisme untuk bangkit.
Upaya membangun solidaritas sosial ini bisa diwujudkan dengan cara membuat suatu kegiatan atau membuat program kerja. Hal ini hanya bisa terwujud jika setiap individu memiliki kesadaran akan rasa kebersamaan yang kuat. Jika demikian. Setiap individu akan bergerak dengan otomatis untuk melakukan aksi-aksi kebaikan dalam membangun solidaritas sosial.
Contoh nyata di tingkat kepengurusan masjid ini dapat dilihat pada program kerja pengurus masjid. Di antaranya, program pembangunan masjid, program keagamaan, dan program sosial. Program pembangunan masjid ini yaitu pembangunan secara fisik dan perawatan. Program keagamaan ini berkaitan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, diantaranya pelaksanaan solat Idul fitri, kegiatan menyambut bulan suci ramandhan, pengajian, dan shalawat. Adapun program sosial diantaranya kegiatan santunan yatama.
Wujud solidaritas sosial ini dapat kita amati di pengurusan masjid Jami’ As Sofa Singorojo Wetan Mayong Jepara. Sholeh, ketua ta’mir masjid Jami’ As Sofa, menyampaikan bahwa upaya membangun solidaritas sosial ini dapat diwujudkan dalam mengaplikasikan program kerja pengurus masjid secara nyata yang melibatkan seluruh elemen masyaratak. Contoh, pembangunan masjid, dan kegiatan hari besar.
Dalam rangka mensukseskan pelaksanaan kegiatan hari besar, hari raya Idulfitri, pengurus masjid Jami’ As Sofa berkerja sama dan bersinergi dengan tokoh masyarakat, pemuda, Irmas AsSofa (sahabat Yasin), Ansor (sahabat Adi Kurniawan al Hafidz), dan Banser (sahabat Amin). Mulai dari persiapan pelaksanaan shalat Idulfitri, pelaksanaan shalat Idulfitri, dan menyiapkan tempat parkir bagi jama’ah shalat Idul Fitri.
Dengan adanya kerjasama dan sinergisitas tersebut, diharapkan dapat memberikan pelayanan kenyamanan beribadah secara maksimal terhadap jama’ah. Lebih jauh, moment Idulfitri di tengah wabah pendemi Covid-19 ini diharapkan dapat membangun mewujudkan rasa solidaritas sosial, sehingga dapat diterjemahkan ke dalam kegiatan nyata yang progresif.
Khutbah sholat Idulfitri menyampaikan bahwa hari raya idulfitri tahun ini harus dimaknai dengan bagaimana upaya menciptakan solidaritas sosial yang mensyaratkan sikap rendah hati, rasa saling mencintai, serta terbuka bagi kritik sebab tanpa pengakuan yang sama terhadap hak-hak orang lain, maka solidaritas sosial tidak akan terwujud. Sikap belas kasih yang diwujudkan hanya berupa santunan zakat fitrah serta bantuan insidental terhadap fakir miskin, tidak akan mampu menciptakan keadilan serta solidaritas sosial kalau tidak disertai pembangunan pribadi yang berakhlak mulia..
Dengan demikian, upaya membangun solidaritas sosial ini dapat terwujud secara nyata dalam kegiatan menjalankan aktivitas-aktivitas ibadah sehingga dapat menjadi kholifatullah fil ardh yang bermanfaat, serta menjaga lingkungan sebagai tempat atau ladang amal soleh di akhirat nanti, Ad dunya Mazro’atul Akhiroh. Yang pada akhirnya terwujud sebuah solidaritas sosial yang lebih bermakna. (*)
*) Ahmad Subchan, staf tenaga pengajar mata kuliah Filologi di STIBI Syech Jangkung Kayen Pati. Aktif di berbagai organisasi, di antaranya menjabat sebagai wakil Ta’mir Masjid Jami’ As-Sofa Singorojo Wetan, Mayong, Jepara, Ketua Jampiji, dan Ketua Kopi Jogyanan.