Oleh Ali Burhan*
nujepara.or.id – Tahun 2022 merupakan peringatan 77 tahun Indonesia merdeka. Angka 77 jika dianalogikan dengan kehidupan manusia maka Indonesia telah tua renta, namun jika dibandingkan dengan perjalanan peradaban manusia, maka angka ini menunjukan bahwa Indonesia masih muda, remaja, atau bahkan balita. Seumpama Indonesia masih balita, untuk berjalan saja ia masih sering tersandung dan jatuh.
Sebagai anak peradaban, Indonesia masih harus belajar dari peradaban-peradaban leluhurnya, untuk kemudian setelah paham, bisa belajar dari peradaban-peradaban dunia lainnya.
Peringatan Ulang tahun atau Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diadakan setiap 17 Agustus, bukanlah peringatan hari lahir bangsa Indonesia, tapi itu merupakan hari pembacaan proklamasi yang menandai lahirnya Negara Indonesia. Indonesia sebagai bangsa sudah berumur ribuan tahun, dan ini menandai bahwa peradaban Nusantara telah matang dan dewasa. Kematangan dan kedewasaan ini tercermin dari kehidupan kebudayaan bangsa Nusantara yang senantiasa hari ini masih terjaga.
Berpijak pada pemahaman kebudayaan dari Ki Suryomentaram yang membagi kebudayaan menjadi dua bagian, yakni kebudayaan bagian lahir dan kebudayaan bagian batin. Kebudayaan bagian lahir yang dimaksud adalah alat pangupojiwo (mencari nafkah) dan alat pergaulan hidup sedangkan kebudayaan bagian batin merupakan ekspresi hidup seseorang, masyarakat atau suatu bangsa yang meliputi seni, filsafat dan jiwa.
Bangsa Nusantara sudah memiliki kebudayaannya sendiri dalam hal ekonomi, yakni budaya agraris dengan cirinya yang khas juga budaya maritim yang berorientasi laut. Hal ini terwujud dalam dunia perdagangan antar pulau dan juga internasional dan juga budaya nelayan.
Kebudayaan batin bangsa Nusantara juga memiliki keagungannya sendiri yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa Nusantara memiliki cara pandang sendiri dalam memakna keindahan (seni), memakna alam (filsafat), dan memahami diri sendiri (jiwa). Ragam suku, ras, bahasa, dan adat yang senantiasa berdampingan tanpa saling memusnahkan adalah wujud budaya luhur tersebut.
Kedua elemen kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa ini, telah berumur ribuan tahun dan kedua elemen ini telah mengawal-menghantar kehidupan manusia Nusantara tetap pada garis kemanusiaannya.
Bangsa Nusantara telah berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain di Dunia, dan semua memiliki dampaknya masing-masing. Dari bangsa-bangsa tersebut yang secara struktural kemasyarakatan menguasai atau menjajah secara politik dan ekonomi adalah bangsa eropa, yakni Portugis, Inggris, dan Belanda. Dari interaksi dengan bangsa-bangsa asing selama berabad-abad tersebut yang memang membawa nalar keserakahan, bangsa Nusantara berjuang melawan dan mengusirnya dari tanah air.
Pertengahan abad ke-20, tepatnya tahun 1945, dibacakan oleh Soekarno dan Hatta, bangsa Nusantara menyatakan kemerdekaan dan berdirinya Negara Indonesia. Kemerdekaan ini dilatarbelakangi oleh perasaan dan nasib yang sama, yaitu terjajah oleh bangsa asing yang menyengsarakan sebagian besar bangsa Indonesia.
Penjajahan memiliki makna tertindas atau terampas kekayaan dan kebebasannya, baik politik, sosial, ekonomi, maupun spiritual. Jawaban dari kondisi terjajah adalah merdeka. Merdeka diserap dari bahasa india “mahardika” yang berarti kaya, sejahtera, dan kuat. Diserap dalam bahasa melayu, merdeka memiliki makna bebas, berdiri sendiri.
Merdeka jika tidak dimaknai dan disikapi dengan landasan budaya yang agung, maka akan mewujudkan kebebasan tanpa batas. Kemerdekaan atau kebebasan yang tanpa batas, melahirkan tatanan sosial yang indifidualistik dan kapitalistik.
Bagaimanapun wujudnya, kemerdekaan bukanlah tujuan dari suatu perjuangan, tapi kemerdekaan merupakan sarana atau jembatan emas menuju ke-merdesa-an. Hal ini menjadi penting agar seseorang, masyarakat atau bangsa tidak terjebak dengan uforia merdeka, kemudian lupa kepada tujuan kemerdekaan itu sendiri.
Merdesa memiliki akar kata desa yang menurut Toto Raharjo dalam esainya memiliki kesamaan akar dengan Paradise yang berarti surga. KBBI memaknai merdesa : layak; patut; sopan (beradab), adat yang halus hanya dapat dilakukan apabila orang berkecukupan atau kaya.
Taufik Rahzen memakna Merdesa adalah sebuah kelompok masyarakat yang diikat oleh tanah, air, dan bahasa dan dicirikan tiga hal keadaban dalam pengelolaan informasi dan pengetahuan, ketertib-santunan dalam sosial politik, dan kelayak-sejahteraan secara ekonomi.
Merdeka dan merdesa memiliki makna yang berbeda.
Kata merdeka akan mengingatkan kita pada masa lalu, masa perjuangan, revolusi dan patriotisme para pejuang, sedangkan merdesa akan menghantar pada masa depan, yakni bagaimana mewujudkan tiga keadaban peradaban yang berbasis budaya pengetahuan, budaya sosial, dan budaya kesejahteraan.
Dalam bahasa Santri, Merdesa memiliki kesamaan makna dengan Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur. Maka untuk kembali mencapai peradaban luhur, bangsa Indonesia tidak bisa hanya berhenti di kemerdekaan saja, tapi harus dilanjutkan pada tujuan utamanya, yakni “Kemerdesaan”. Terwujudnya Budaya Merdeka yang Merdesa.
Wallahu a’lam.
*Team Riset PC Lesbumi NU Jepara