Oleh Dr Muh Khamdan*
nujepara.or.id – Penangkapan terhadap Pangeran Diponegoro dalam undangan ramah tamah silaturrahim sehari setelah lebaran idul fitri 1245 H, mengakhiri Perang Jawa yang panjang. Tipu muslihat penangkapan dalam hari raya itu bertepatan pada 28 Maret 1830, di rumah dinas Jenderal Hendrik Markus de Kock di Magelang.
Pasca penangkapan Pangeran Diponegoro yang diasingkan ke Tondano Manado dan berakhir di Makasar, para pemimpin laskar perang yang terdiri dari santri dan kyai membangun jejaring perlawanan kultural. Kyai Umar sebagai panglima untuk wilayah Jawa bagian Utara misalnya, memelihara basis sisa-sisa pasukannya di Jepara. Kyai Umar bin Muhammad Tamsin berasal dari Kedung Jumbleng di Ngroto Mayong, yang merupakan ayahanda dari KH. Sholeh Darat Assamarany.
Turut mengiringi Kyai Umar adalah Kyai Ahmad Sanwasi, ulama Kasunanan Surakarta yang memilih tinggal di Jepara. Kyai Umar memilih ke kampung halaman di Ngroto Kecamatan Mayong, sedangkan Kyai Ahmad Sanwasi memilih di sebuah kedukuhan yang kemudian hari dikenal dengan Penggung di Desa Gemiring Lor, Nalumsari. Hubungan kekerabatan dua tokoh ini semakin dekat setelah Kyai Ahmad Sanwasi menjadi menantu Kyai Umar, dengan menikahi putri yang bernama Nyai Darijah.
Sudah menjadi kebiasaan para sisa pasukan Diponegoro mengikat kekerabatan dengan pernikahan. Hal itu dialami juga pada Kyai Ahmad Sanwasi dengan memiliki istri lain dari pesisir Jepara, Surodadi Kecamatan Kedung Jepara. Perempuan yang dinikahi Kyai Ahmad Sanwasi itu bernama Nyai Yusabihah, dan konon memiliki kekerabatan dengan Habib Abdullah Bafaqih atau dikenal Mbah Pathok Dalang.
Surodadi merupakan salah satu desa yang tersembunyi di ujung Selatan Jepara. Wilayah ini dulu dikenal sebagai basis penyebaran Islam melalui jalur para pelaut dan nelayan. Ekosistem kawasan pesisir Selatan Jepara sekaligus menjadi tempat pengawasan keamanan laut era Kesultanan Demak – Mantingan.
Pernikahan Kyai Ahmad Sanwasi dengan Nyai Yusabihah menurunkan tiga keturunan, yaitu Yusuf, Mukaromah, dan Mubasyaroh. Putra tertua inilah yang pada 1870 mendirikan pesantren untuk pertama kali di kawasan tersebut dengan nama Sabilul Hadi. Pesantren dengan model salafiyah itu menekankan kemampuan membaca Al-Qur’an serta fiqih dan ilmu alat atau nahwu shorof.
Pasang surut perjalanan dakwah melalui surau panggung di tengah perkampungan, dipimpin oleh KH. Yusuf bin Kyai Ahmad Sanwasi sampai wafat pada 1892. KH. Yusuf meninggalkan keturunan anak bernama Mahfudz, sehingga estafet kepemimpinan pesantren secara langsung dilanjutkan putranya itu sampai sampai 1928.
KH. Mahfudz memiliki empat keturunan, yaitu Malichah, Sibro Malisi, Mazami, dan Mamba’il Ulum. Pasca wafatnya KH. Mahfudz yang bersamaan dengan tahun Sumpah Pemuda 1928, KH. Abdurrahim Asro sebagai santri sekaligus menantu KH. Mahfudz yang menikahi Nyai Malichah didaulat menjadi pelanjut estafet kepemimpinan pesantren Sabilul Hadi.
Kyai Asro lahir pada 24 April 1885 di Surodadi. Kyai Asro tergolong sebagai “santri kelana” yang berguru ke pesantren Tayu Pati, Lasem, dan bermukim sekitar 4 tahun di Makkah untuk berguru pada Sayyid Abbas Almaliki Alhasani bin Abdul Aziz Almaliki. Dari jalinan guru terakhir inilah, nama kecil Abdurrahim berubah menjadi Muhammad Asro atau berarti Muhammad si Petualang.
Kyai Asro memimpin pesantren secara kolektif dan kolegial bersama saudara-saudara iparnya. Hal inilah yang akhirnya memengaruhi tumbuhnya pesantren-pesantren di wilayah Surodadi hingga mencapai lebih dari 12 pesantren. KH. Asro wafat pada 28 November 1976 yang bertepatan pada 6 Dzulhijjah 1396 H. Pesantren Sabilul Hadi dilanjutkan kepemimpinannya oleh KH. Jasichun, menantu dari KH. Asro.
Proses perjalanan pesantren Sabilul Hadi yang melintasi batas zaman dan rezim kekuasaan setidaknya menunjukkan begitu adaptifnya kelompok santri dan kyai. Perjalanan pesantren Sabilul Hadi telah menyumbangkan perkembangan dakwah Islam yang sangat besar, beserta jejaring alumni yang tersebar di antara wilayah pesisir Jepara sampai Semarang. Pesantren Sabilul Hadi yang sudah berumur 153 tahun dan sudah dipegang oleh generasi kelima itu, menggunakan alamat jalannya sesuai dengan pewaris generasi ketiga yaitu Jalan Kyai Asro atau berada persis di depan SDN 1 Surodadi.
Semangat perlawanan Kyai Ahmad Sanwasi terhadap penjajahan dalam Perang Jawa Diponegoro, selalu terjaga oleh keturunannya dalam variasi perjuangan. Pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan sebagaimana ditanamkan oleh KH. Yusuf bin Kyai Ahmad Sanwasi dan putranya yang bernama KH. Mahfudz bin KH. Yusuf, telah membuktikan dengan tersebarnya genealogi pesantren di berbagai daerah di Jepara dan sekitarnya.
*Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Pengurus LTNNU Kecamatan Nalumsari.