Oleh Kiai Hisyam Zamroni*
Dampak kebijakan modernitas dunia, santri dikategorikan sekelompok “pelajar” yang identik dengan “kelompok tradisional” sehingga santri tidak masuk dalam kehidupan “layak” pada kebijakan modernitas di seluruh dunia termasuk kebijakan awal “pembangunan” di Indonesia.
Pembangunan yang dimotori oleh para pemodal atau kapitalis-modern yang kemudian disebut dengan pendekatan “deveplopmentalisme” menjadikan “santri” sebagai orang “pinggiran” yang keberadaannya tidak masuk dalam “proyek” pembangunan sebagaimana “proyek modernitas” pembangunan di awal Indonesia pada masa orde baru.
Proyek modernitas pembangunan orde baru mengharuskan program pembangunan apapun termasuk “corak agama” di indonesia harus berlebel “modern”, parahnya saat itu para pemikir indonesia menganggap bahwa santri dimasukkan kategori “tradisional” yang tentunya tidak memiliki akses proyek developmentalisme kapitalis sehingga santri menjadi orang yang terpinggirkan dan dipinggirkan.
Dampak dari proyek ini, terjadi migrasi “intelektual tradisional” terpaksa dan dipaksa untuk “bermodern” sehingga tidak sedikit mereka “lompat pagar” bergeser dari pola pikir tradisional ke modern.
Di sisi lain, justru terjadi penguatan orientasi positif para santri yang dianggap tradisional menjadi santri yang kuat dan mandiri dengan membuat “perlawanan tersembunyi” melalui peningkatan kapasitas intelektual yaitu bersekolah dan ngaji baik di dalam maupun luar negeri pada studi ilmu pengetahun non agama. Seperti pemikiran filsafat, antropologi, budaya, sains dan teknologi, pemikiran agama modern di dunia barat dan lain lain sampai mendapat gelar master maupun doktor.
Pendekatan “postcolonial” para santri di atas, menghasilkan generasi santri baru yang cerdas, kreatif dan inovatif yang sekarang ini mereka tidak hanya menjadi mentor di perguruan tinggi Islam negeri tapi juga di perguruan tinggi umum bahkan mampu menjadi “jangkar” ekonomi, teknologi, IT, pegawai di pemerintahan maupun skill profesional lainnya.
Pola pikir cerdas santri dalam menghadapi tantangan realitas sosial yang terus bergerak dari waktu ke waktu dan dari zaman ke zaman memiliki kaidahnya sendiri yaitu al muhafadzotu ala qodimissholih wal akhdu bil jadidil ashlah.
Kaidah di atas merupakan “nilai” yang hidup, tumbuh, berkembang dan menjadi manhaj untuk terus dijadikan pendekatan dalam menganalisis realitas sosial yang berkembang sehingga santri tidak akan pernah kering dan kekurangan solusi dalam menghadapi situasi yang terjadi dalam kehidupan sehari hari.
Bahkan menghadapi perubahan dunia sekalipun baik secara evolusi maupun revolusi. Konsekuensinya santri adalah memiliki daya elastis dalam setiap langkah dan visi misi yang akan dituju.
Selamat Merayakan Hari Santri Nasional 2022. Kita adalah Santri, bergerak bersama, kita bisa !!!
- Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Jepara