Historia Vitae Magistra, demikian orang Yunani menganggap begitu pentingnya sejarah sebagai guru kehidupan yang bijaksana. Untuk itulah masyarakat Yunani menyanjung dirinya sendiri dengan meligitimasi kejayaan masa lalu melalui penulisan sejarahnya. Dari ungkapan itu terungkap betapa belum disadarinya sejarah sebagai guru kehidupan bagi masyarakat Indonesia, termasuk kalangan pesantren atau populer dengan santri. Hal demikian akan dengan mudah mendapatkan bukti banyaknya sejumlah naskah Islam Kuno yang kini berkeliaran di tangan asing.
Sekadar contoh, koleksi manuskrip Islam asal Indonesia di Universitas Leiden, Belanda yang ditulis dengan Bahasa Jawi mencapai lebih dari 5.000 naskah. Belum lagi manuskrip yang ditulis dengan huruf Pegon atau huruf Arab dan bahasa Arab, jumlahnya jauh lebih banyak. Kolonial Belanda melakukan pengumpulan kemudian membawa ke Belanda dari seluruh daerah di Indonesia semasa kolonialisme. Bahkan karya asli Sunan Bonang, karya Nuruddin ar-Raniri, Hikayat-Hikayat Aceh, Hikayat Melayu, Babat Tanah Jawi dan lainnya juga berada di sana.
Dengan kondisi semacam itu, diperlukan kembali penggalian informasi budaya masa lalu yang masih tertinggal di dalam pesantren untuk dimaknai dalam konteks masyarakat masa kini. Ini tidak hanya terkait dengan karakter atau mentalitas masyarakat yang tergerus, tetapi persoalan pelestarian budaya (heritage society) untuk menjaga kesinambungan peradaban masa lalu dengan masa depan masyarakat yang lebih baik. Dan peran ini semestinya dijalankan dengan memosisikan santri sebagai pengawal naskah Islam kuno karena memiliki tradisi penelaahan khasanah naskah kuno di bulan Ramadhan yang sering disebut posonan.
Terbongkarnya peristiwa pembajakan kitab kuning berjudul Sirajut Thalibin karangan KH Ihsan Bin Dahlan dari Jampes Kediri oleh penerbit Daarul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, pada 2009 lalu, merupakan langkah cepat kalangan santri Indonesia untuk mengawal khasanah pesantren. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenali jati dirinya, demikian juga kalangan pesantren bisa menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang besar manakala sadar tentang jati dirinya. Hal ini mengundang kerisauan jika kalangan pesantren yang lebih memahami khasanah budaya Islam masa lalu tidak memiliki kesadaran sejarah sehingga tidak mampu mengakumulasi gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang telah terbentuk sepanjang masa.
Berkenaan dengan tujuan tersebut, Pesantren harus berubah dari sekadar tempat pameran naskah-naskah kuno dari peninggalan ulama pendahulu menjadi medan kajian kontekstualisasi khasanah masa lalu untuk merespon masa kini. Kehadiran kasus pembajakan atas kitab Sirajut Thalibin merupakan bukti bahwa khasanah masa lalu pesantren Nusantara justru memiliki relevansi di beberapa negara termasuk kawasan Timur Tengah. Kitab Sirajut Thalibin adalah syarah atau penjabaran dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Kitab ini pernah mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain terkait tentang etika. Kitab ini juga dikaji di beberapa majlis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika.
Di sinilah menjadi agenda penting pemberdayaan pesantren yang dapat dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) karena keidentikannya dengan pesantren. Pesantren merupakan komponen penting dalam mendukung terwujudnya civil society melalui kekayaan khazanah intelektual akademik seperti yang dikenal dengan “kitab kuning”. NU jelas mewarisi tradisi akademik ulama terdahulu melalui naskah tulis tangan dalam huruf besar substansi dari kitab kuning, khususnya dalam bahasa-bahasa lokal seperti Melayu, Jawa, atau Sunda. Naskah itulah yang akhirnya menjadi objek utama filologi dan kodikologi.
Kajian filologi sesungguhnya dimaksudkan sebagai upaya preservasi atau pemeliharaan sekaligus pelestarian artefak budaya. Ketertinggalan umat Islam Indonesia untuk melakukan langkah tersebut kini mejadikan manuskrip dengan huruf Jawi dan bahasa Melayu yang ada di Perpustakaan Nasional Jakarta hanya sekitar 1.000-an naskah.
Masih rendahnya perhatian terhadap peninggalan sejarah masyarakat masa lalu sehingga menyemarakkan praktik pencurian koleksi seperti pernah terjadi atas Museum Radya Pustaka Solo dengan hilangnya 20 buku kuno. Suatu saat juga bisa menimpa beberapa pesantren yang masih menyimpan naskah-naskah kuno yang disakralkan. Fenomena tersimpannya banyak naskah-naskah kuno itu sebagaimana di Pesantren Sabilil Muttaqin Takeran, Magetan, Jawa Timur. Di pesantren peninggalan KH Imam Mursyid itu, Tim dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) dan Islamic Manuscript Unit (Ilmu) PPIM UIN Jakarta telah menemukan sekitar 50-an bundel naskah kuno tulisan tangan yang berisi seratusan teks.
Pesantren lain yang memiliki koleksi ratusan naskah kuno antara lain Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Tarbiyyah al-Talabah Lamongan, dan Pesantren Tegalsari Ponorogo, yang berjumlah sekitar 300-an bundel naskah. Bahkan di Pondok Pesantren Sumber Anyar, Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, ditemukan 80 eksemplar naskah kitab kuno yang semuanya ditulis tangan, termasuk kitab karya ulama asal Aceh berjudul “Bahrul Lahut” tentang filsafat ketuhanan yang pernah diklaim sebagai karangan ulama Malaysia. Selain kitab Bahrul Lahut, ditemukan juga kitab kuno karya intelektual Muslim, Ibnu Arabi, yakni kitab ‘Tuhfatul Mursalah’ dan ‘Kitabul Waqad‘ atau ilmu astronomi yang juga ditulis dengan tangan berbahasa Arab tentang peredaran bumi, bulan, dan matahari.
Tidak dapat disangkal, masyarakat saat ini mengepung alam fikiran keseharian identik dengan dunia industri dan selera kekinian atau modernitas. Memorable experience demikian mendapatkan jejaknya dalam bentuk keterasingan terhadap lingkungan masa lalu. Sebutlah karya tertua berhuruf Pegon misalnya, karya Sunan Bonang atau Syekh al Barri yang berjudul Wukuf Sunan Bonang. Karya yang ditulis pada abad 16 ini menggunakan bahasa Jawa pertengahan bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini merupakan terjemahan sekaligus interpretasi dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, Jawa Timur.
Telah disadari bahwa gagasan transformasi sosial kalangan pesantren adalah kemampuannya merespon zaman. Budaya komunitas pesantren masa lalu merupakan strategi kultural modern karena telah mengintegrasikan pendekatan budaya, sosiologis, dan antropologis dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Dengan demikian, tampilan naskah Islam kuno yang bertuliskan bahasa Melayu dan berbagai bahasa daerah setempat dengan tulisan huruf Jawi atau Pegon merupakan wujud responsifnya ulama masa lalu di masanya. Sayangnya, perhatian terhadap naskah kuno untuk mengawal khasanah Islam Nusantara yang berserakan itu belum maksimal dilakukan.
[Muh. Khamdan, Widyaiswara Kemenkumham, Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah, dan Kader Muda NU Nalumsari]