Menu

Mode Gelap
Kyai Mukhammad Siroj: Sosok Pendidik, Pengabdi dan Teladan Sehidup Semati Sorban Kiai Hijau dan Tali Tambang, Ini Makna Logo Harlah Ke-102 NU, Bisa Diunduh di Sini Jadwal Puasa Rajab 1446 H/2025, Beserta Niat dan Caranya Mahasiswa PAI UNISNU ikuti Kuliah Komparasi Aswaja Komunitas Muslim di Negeri Beruang Merah, bareng Dr. Amy dari PCINU Federasi Rusia Tanggap Bencana, PCNU Jepara Gelar Rakor, Jalin Sinergi dengan Pemerintah dan Elemen Lainnya

Hujjah Aswaja · 1 Nov 2023 03:03 WIB ·

Santri Tarekat Menggugat : (“Beda Mbah Musta’in Romli, Beda Habib Luthfi Bin Yahya”)


 Santri Tarekat Menggugat : (“Beda Mbah Musta’in Romli, Beda Habib Luthfi Bin Yahya”) Perbesar

Oleh : Murtadho Hadi

nujepara.or.id – Salah satu pra-syarat yang harus ada bagi seorang “Pembimbing Spiritual” (yaitu Mursyid) bagi para santri-santri Thoriqoh adalah : “Siyasatul-Muluk” yaitu memahami “strategi politik raja-raja”. Aneh bukan? Apakah kaitannya, wong kesan umum tentang Thoriqoh kan “Praktek Dzikir”, kok harus paham tentang “strategi politik raja-raja” segala? (Dan kenapa tulisan ini dimulai dari sini?)

Masyhur! Itulah yang dititik-tekankan oleh Sufi Besar Syaikh Abdul Qodir Al-Jaelany (“Al-Jilany”!) dari tiga Pra-syarat bagi seorang Mursyid setelah sebelumnya menguasai: “Ilmunya para ulama” (ilmul-ulama), dan “kebijaksanaan orang-orang yang arif-billah” (hikmatul-hukama’).

Respon Kyai-Santri

Dan kali ini, meskipun saya menyinggung kedua tokoh tersebut di atas, jangan salah sangka! Titik tekannya justru  bukan kepada  beliau-beliau. Apalagi, tidak dalam kapasitas membandingkan tentang ketokohan mereka berdua. Tapi titik tekannya adalah kepada “respon kyai dan terlebih para santri atas kebijakan dan perilaku  seoarang: Syaikh (“Guru”) di Era zamannya masing-masing”.

Dipertanyakan (“Baiat Ulang”)

Dulu,  di saat kyai-kyai NU mengambil jarak dengan Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto,  Mbah Musta’in berbeda.  “ijtihad politik beliau” adalah memilih”mendampingi Presiden Soeharto. Padahal di kala itu, pandangan umum (common sens) masyarakat apalagi tradisi Santri dan Kyai adalah: sesuatu yang tabu! Tidak ada fa’idah dan kebaikannya sama sekali berdekat-dekat dengan penguasa yang represif.

 Lha! Ini Mbah Musta’in, sebagi Pemimpin tarekat malah,  bahkan pemimpin besar dari organisasi-organisasi Thoriqoh Mu’tabaroh (sama seperti jabatan yang disandang Habib Luthfi bin Yahya sekarang), justru memilih berdekat-dekat dengan penguasa. Kontan ! Para santri-santri Thoriqoh, tidak sedikit yang meragukan ihwal “KEMURSYIDAN” Mbah Musta’in, tak sedikit yang berbaiat ulang!

Padahal sebagai Mursyid Thoriqoh, tentu saja Mbah Musta’in, pasti sudah “mengkalkulasi” untung ruginya kebijakan beliau, madhorot dan mashlahat tentulah sudah dikalkulasi : kalau semua berseberangan dengan pemerintah, lalu siapakah yang membimbing Presiden Soeharto (terkait Syara’ dan arah kebijakan yang berkaitan dengan umuril-muslimin secara umum?) Siapakah yang memastikan biar Sang Presiden aqidahnya tetap di jalur yang benar (ala ahli Sunnah wal jama’ah), tidak tergerus Wahabi, tidak bercampur klenik dari aliran kebatinan Jawa di kala itu, kalau tidak para kyai lalu siapa lagi?

Reputasi Dan Otoritas

Ya, tapi itulah kebijakan Mbah Musta’in, beliau benar-benar dipertanyakan reputasi dan otoritasnya sebagai Mursyid Thoriqoh Qodiriyah-Naqsyabandiyah padahal beliau adalah Putra Syaikh Romli Tamin Rejoso Jombang (yang Masyhur itu). Sehingga kabarnya di kala itu, banyak santri-santri Thoriqoh yang berbaiat ulang.

  Lalu bagaimana dengan respon Kyai dan santri-santri Thoriqoh terhadap : serangkaian kebijakan Habib Luthfi (yang mulai digugat masyarakat di sana sini)? Dilihat sepintas santri-santri Thoriqoh sekarang tampak lebih “kritis” daripada santri-santri dulu. Tapi kenapa tak satupun dari santri-santri Thoriqoh yang bersuara atas respon masyarakat yang mempertanyakan kebijakan-kebijakan Habib Luthfi di sana sini ? :

1. Soal sejarah “berdirinya JATMAN yang berubah” itu barangkali bukan soal yang serius (Toh para kyai dan  kaum sufi sudah biasa bila namanya tidak tercatat dalam panggung Sejarah”)

2. Tapi soal “Sejarah Berdirinya NU versi Habib Luthfi” yang memasukkan kakek beliau Habib Hasyim sebagai Inisiator berdirinya NU, yang kontras  dengan fakta-fakta sejarah berdirinya NU (dan mendarah daging dalam hapalan Kader-kader Penggerak Nahdhotul Ulama ?

Ah, tapi itu kan memang sejarah. Dari dulu ya memang “qila wa-qola”. Tapi adakah “keganjilan tidak”? Mungkinkah Mbah Hasyim Asy’ari berada di Makkah (menjelang berdirinya NU) bersama para Syaikh yang diceritakan Habib Luthfi, justru ketika Makkah sendiri dalam situasi tidak kondusif (gegar dan “rusuh” kudeta Bani Su’ud)? Mungkinkah? (Mosok mengatakan Habib Luthfi “ngarang-ngarang cerita berdirinya NU? Ya enggak lah!)

3. Lalu bagaimana klaim Habib Luthfi tentang Habib Utsman bin Yahya : yang dikatakan sebagai SOSOK yang alim alllamah, belum ada yang menandingi reputasi keilmuannya, tidak dulu tidak sekarang ( menyanjung leluhur beliau setinggi langit) : lalu bagaimanakah FAKTA SEJARAH berbicara tentang sosoknya yang “rumit”, di satu sisi menyanjung-nyanjung Ratu Belanda, berkawan dekat dengan Snouck Hurgronje, mengatakan Tarekat  dan kyai-kyai penganutnya Itu sesat. Melawan pemerintah penjajah itu sesat/halal darahnya. Banyak kyai-kyai dan haji terbunuh karena Fatwa Usman Bin Yahya yang tertuang dalam risalah kontroversial nya: Manhajul-Istiqomah!

3. Mendirikan yayasan makam Syaikh Jumadil Kubro di Semarang untuk tujuan apa? (Kyai Mufid Klaten mengatakan “Telah menipu ummat” dan bersumpah bahwa: makam Syaikh Jumadil Kubro di Semarang, yang didirikan Habib Luthfi bin Yahya adalah palsu!)

4. Seorang Peneliti Oxford:  Peter Cerey mengatakan makam KRT. Sumodinigrat yang dinisiasi Habib Luthfi bin Yahya dengan nama Habib Thoha Bin Yahya di Semarang adalah “Hoax” (alias palsu). Para Dzurriyah asli KRT. Sumodinigrat yang ada di Jogjakarta sekarang merasa terzalimi karena melihat leluhurnya telah diba’alawikan dan dibajak oleh Habib Luthfi Bin Yahya.

5. Khutbah Habib Luthfi dalam bahasa Arab: yang mengunggul-unggulkan thoriqoh Alawiyyah, dan berpesan kepada klan Bani Alawi supaya gigih menyebarkannya (“intistar! Intistar! kata beliau’ Sehingga orang+orang awam mengetahui dan memahami bahwa “Anna awwala man”: yang pertama sekali menyebarkan Islam di Nusantara adalah  leluhur Bani Alawi yang berthoriqoh Alawiyah!). Lalu peran Walisongo di mana? Peran Thoriqoh Qodiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah dan Syathoriyah di mana?

6. Di dalam buku aurod yang diberikan kepada para santri-santri Thoriqoh: yang berkaitan dengan Syaikh Malik Banyumas (yaitu salah satu Mursyidnya Habib Luthfi, yang silsilahnya Mbah Malik ini nyambung sampai Pangeran Diponegoro bin Hamengkubuwono III), kenapa di tengah-tengahnya disisipi nama Bin Yahya menjadi: Syaikh Malik Bin Ilyas Bin Yahya..? (TANDA TANYA BESAR!) Dan, piihak keluarga Mbah Malik sudah mempertanyakannya. Apakah kebetulan dan kesalahan biasa?

7. Masih banyak lagi tanda tanya besar ihwal Habib Luthfi bin Yahya ketika menginisiasi makam-makam tua di Jawa menjadi “terba’alawikan”, Contoh di Krapyak Jepara: Mbah Daeng Menjadi Ba’alawi, makam tua di Pullau Panjang mejadi Bin Yahya, di Gunung Kidul makam tua tidak terawat menjadi Bin Yahya. Di Banten : Syaikh Gajah Barong uang hidup di abad 16 diba’alawikan menjadi Habib Husein Bin Thoha Bin Yahya (digugat kekancingan Banten) dan seterusnya, Demikian itu lebih dari 30 tahun kiprah beliau menjadi ahli Rontgen Makam di Nusantara). Selama itu?

Ending Kebijakan 2 Tokoh

Dari dua tokoh besar tersebut: Mbah Musta’in telah membuktikan arah kebijakan beliau, benar-benar dirasakan maslahatnya (yang kasat mata yaitu dalam ranah pendidikan siswa-siswi dan santri-santri dalam pengajaran menjadi lebih tertata dan kondusif, hingga pada akhirnya Beliau lebih awal dalam pendirian Universitas di Era itu, di saat-saat Pesantren lain tertatih-tatih menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan).

Ada secara berkala santri-santri Thoriqoh yang membimbing presiden Soeharto. Saya mendengar dari Mbah Maimoen Zubeir bahwa Mbah Shobib santri Mbah Romli adalah di antara yang membimbing presiden Suharto, sehingga pak Harto tetap beraqidah ahlusunah, berislam secara NU. Dan coba lihat waktu beliau memulyakan almarhumah istrinya tetap ala NU (walau ketika itu PP.Muamamadiyah mengklaim pak Harto sebagai Bapak Muhammadiyah) tetapi ketika istrinya meninggal  ada Yasinan, ada tahlilan, ada 7 hari dan semacamnya.

Nah, itulah Mbah Musta’in Romly walau di awal-awal digugat kemursyidanya. Namun beliau sekarang dikenang sebagai sosok yang berjasa. Lalu bagaimana dengan Habib Luthfi bin Yahya: belum cukupkah bukti-bukti dan fakta tentang beliau yang perlu disikapi oleh santri-santri Thoriqoh (terutama para santri dan Kyai dan warga Nahdhiyin, terlebih PBNU), atau masa bodoh, dan menganggap itu sebagai sesutu yang tak relevan dan dipertanyakan bagi seorang “Guru” (Syaikh)? Itulah fakta Habib Luthfi sekarang, tidak tahu apakah beliau nanti pada akhirnya akan diagungkan oleh sejarah..? Atau sebaliknya?  Wallohu A’lam!*

(Murtadho Bin Hadi, Penulis adalah Pengurus LTN NU Jepara)

Artikel ini telah dibaca 980 kali

Baca Lainnya

Tanggap Bencana, PCNU Jepara Gelar Rakor, Jalin Sinergi dengan Pemerintah dan Elemen Lainnya

9 Desember 2024 - 22:41 WIB

Jajaran NU - Peduli Bencana PCNU Jepara menggelar rakor seiring potensi terjadinya bencana imbas hujan dengan intensitas tinggi yang mengguyur wilayah Jepara dalam beberapa hari terakhir.

Semangat Kepahlawanan dan Jiwa Altruisme Sosial

8 November 2024 - 15:47 WIB

Ilustrasi pejuang perempuan.

MWC NU Tahunan Serukan Jaga Kondusifitas Selama Pilkada

2 November 2024 - 13:32 WIB

Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kecamatan Tahunan Jepara KH. Ali Masykur menyerukan agar tetap menjaga kondusivitas selama proses Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) pada 27 Nopember 2024.

YPMNU Jepara Adakan Simulasi Manasik Haji

1 November 2024 - 20:32 WIB

Pengurus Yayasan Pendidikan Muslimat NU cabang Jepara menyelenggarakan Simulasi Manasik Haji.

Jagong Ngayeng di Hari Sumpah Pemuda

28 Oktober 2024 - 06:58 WIB

Ilustrasi Sumpah Pemuda

Romantisnya Hubungan NU dan Ba’alawi di Jepara, Pondasinya Dibangun Keturunan Habib Pengikut Pangeran Diponegoro

15 Agustus 2024 - 01:53 WIB

Katib Syuriah PCNU Jepara Kiai M Nasrullah Huda, Sekretaris Tanfidziyah PCNU Jepara Kiai Ahmad Sahil berfoto bersama dengan Rois Syuriah dan Ketua Tanfidziyah MWC NU Nalumsari periode 2023 - 2028, Kiai Nurkhan dan Habib Sholeh usai kegiatan konferensi yang digelar Sabtu (18/2/2023).
Trending di Hujjah Aswaja