Oleh : Murtadho Hadi
nujepara.or.id- Dalam pandangan atau perspektif Filsafat Kritis : “teori yang salah” itu tetap berguna! Kenapa?. Tentu saja agar kita tidak terperosok ke dalam “lobang yang sama”. Dalam hal ini banyak kesalahan Penulis Pemula itu berawal ketika ditanya, “Mana tulisannya kok nggak nulis-nulis?”
Jawabannya klasik, “Masih menunggu ide!” Maka kata kuncinya adalah : IDE JANGAN DITUNGGU, TAPI DICARI! Bagaimana caranya agar “ide-ide segar” dan “kreatif” serta “aktual” (menurut bahasa gaulnya : Up to date!) Itu bisa didapatkan?
Tak bisa tidak, “Ma La Budda Minhu”, serangkaian langkah-langkah ini harus ditempuh :
1. Anda harus banyak membaca :; karena kualitas tulisan seseorang sangat ditentukan dengan faktor bacaan! Melalui membaca maka ide-ide dan pemahaman baru akan anda dapatkan.
2. Mendiskusikan “topik” yang dibaca (inilah pentingnya teman dan lingkungan yang pada akhirnya akan menopang pemahaman dan “gagasan”)
3. Mendatangi “majlis ilmu” (kajian-kajian, seminar, bedah buku, “pembacaan cerpen/tadarus puisi”, nonton wayang, teater, dan musik-musik yang inspiratif (yang membangkitkan “gelora semangat” dan menggugah rasa: Dzauq!).
4. Bertemu/mendatangi tokoh (Bisa saja seorang Kyai yang ahwalnya selalu menjadi teladan dan buku yang terbuka. Inilah puncak inspirasi itu. Atau, bisa saja seorang publik figur yang berita dan kabarnya itu ingin diketahui masyarakat, maka itu adalah sumber tulisan juga bagi seorang wartawan tentunya!).
5. Banyak mendengar “pengalaman orang lain” (Ingat! Tidak semua hal yang kamu tulis adalah “hasil pengalaman kamu sendiri” tapi bisa jadi adalah “pengalaman” dan “ide orang lain”. Kenapa? Karena tidak semua orang punya ide dan pengalaman yang dramatis bisa menuliskannya. Itulah kelebihan anda, jika anda adalah seorang penulis!).
6. Banyak “mengapresiasi” dan “mengagumi karya-karya” sesama penulis. Dengan cara apa:? Dengan cara memabaca karya-karya mereka, saling dialog dan bersilaturahmi!.
Menilik “Beberapa Eksplorasi Ide” dan “Karya”
Lebih detailnya, marilah kita melihat bagaimana eksplorasi para penulis dalam “menuliskan tema-tema dekat di sekitar kita”:
1. Buku Humor Ngaji Kaum Santri, penulis Hamzah Sahal (ditulis waktu nyantri di Nurul Ummah Kota Gede), ternyata buku ini berisi mata pelajaran kaidah-ushul fiqih setaraf risalah kecil Faro’idul Bahiyah (untuk kurikulum Aliyah: yaitu “innamal a’malu binniyat”, “baqo’u ma Kana ‘ala ma Kana”, dan seterusnya, ..) Namun sudah diterjemahkan dengan pengalaman keseharian para santri, melalui dialog dengan tokoh seorang Ngalim yang “kontroversial” dan pada akhirnya menjadi “humor” yang cerdas. Juga sebaliknya, pelajaran “Ushul-Fiqih” yang “kereng” pun akhirnya menjadi rileks.
2. Kecintaan Jalan-jalan dari Gus M. Faizi (PP. Annuqoyah, Sumenep Guluk-Guluk), yang masih Tirakat Baca Dala’il, Sang Pelantun Gambus “Ya Tarim Wa Ahlaha”, yang rajin ikut Festival dan Jambore “Club Bis Mania” ini, siapa yang menyangka ternyata menjadi “catatan yang inspiratif”: Menjadi sebuah buku yang berjudul “Fiqih Jalan Raya” (yang banyak diapresiasi semua kalangan, termasuk KAPOLDA), menjadi “Ruang Kelas Bergerak”, dan kecintaannya terhadap seorang gadis menjadi puisi “Madah Makiyah”.
3. Dan sosok yang suka menengok “Dapur Santri”: yaitu Penulis Sendiri yang ketika itu suka “Khoyal” (guyon dengan beberapa level santri), pada akhirnya merekam beberapa kejadian, mengumpulkan beberapa data dan informasi, melalui sebuah “Riset Partisipatoris” (yaitu : seorang peneliti yang terlibat dan terjun bukan hanya sekedar melihat “fakta dari luar”, tapi yang penting adalah menjadi “pelaku” yaitu menjadi santri) untuk menulis : beberapa buku “Jejak Spiritual Kyai Jampes” yaitu Biografi Kyai Ihsan Bin Dahlan Kediri Sang Penulis kitab “Sirojut-Tholibin’, dan buku “Jejak Spiritual Abuya Dimyathi” yaitu Biografi Syaikh Dimyathi Pandeglang Banten, dan Buku “Tiga Guru Sufi Tanah Jawa” (Syaikh Romli Tamim Rejoso yang menulis Risalah berjudul: Tsmarotul Fiktiyah, Syaikh Muslih Mranggen menulis “Futuhaturrobbaniyyah”, dan Mbah Dimyathi Banten: menulis Risalah “Hadiyatul-Jalaliyah”, dimana ketiga rislah tersebut diramu menjadi “Doktrin Sufistik Ulama Jawa” yang paling monumental.
Dan siapa yang menyangka bahwa “manaqib” yang menjadi Aurod (yaitu: kitab wirid para santri dan kyai) pada akhirnya bisa menjadi “Anekdot Sufi Syaikh Abdul Qodir Al-Jaelany”? Penasarankan?. Caranya kurang-lebih ya, “kisah-kisahnya ditarjamah”, doa dan munajat-munajatnya dipisah, diberikan judul yang apik, dan ditulis agak nyastra? Gampang kan?.
Begitu pula dengan buku Sastra Hizib (adalah syair-syair dan munajatnya para Auliya) sekedar diramu, diberikan “komentar” dengan tema-tema yang sesuai dan kurang-lebih seperti itulah cara kerja para Kritikus Sastra.
Kemudian satu lagi yang menarik : Anda hapalkan Syair “Ya Robbi Bil-Musthofa”? Bahkan anak-anak pun hapal kaan…tapi, di tangan seorang penulis ia bisa menjadi buku dengan judul : “Puisi Jubah Nabi” (The Prophet Garmen Poems) dimana banyak penerbit yang ingin menerbitkannya.
Kesimpulannya: kita para pelajar dan para santri adalah “orang-orang” yang kaya dengan “sumber-sumber data”. Tinggal kita mau cerdas apa enggak itu saja kan?.
(Disampaikan dalam “Training Jurnalistik & Menulis Kreatif” untuk para Santri dan Siswa Madrasah Aliyah Se-Kabupaten Jepara: PC. LTN NU, 18 Juni 2023, di Kampus UNISNU)