Menu

Mode Gelap
Rajab, Saatnya “Mremo” Amal Kebaikan di Bulan yang Mulia Bahtsul Masail Tingkat Mahasiswa Se-Jawa Tengah digelar di UNISNU, Soroti Kontroversi Terkait Hukum dan Politik Aliansi Santri Jepara Desak Komdigi dan KPI Cabut Izin Trans7, Buntut Tayangan yang Lecehkan Pesantren Visiting Lecturer di Negeri Tirai Bambu, Aprilia Wakili UNISNU Jepara Kenalkan Wisata Bahari Indonesia Dosen UNISNU Jepara Raih Gelar Doktor, Usung Akuntabilitas Keuangan Berlandaskan Pemikiran Al-Farabi

Esai · 3 Nov 2022 13:52 WIB ·

Islam with Smiling Face


 Islam with Smiling Face Perbesar

Oleh: Dr Abdul Wahab Saleem*

nujepara.or.id- Agama Islam merupakan agama yang agung, tetapi terkadang manusia Islam (muslim) itu sendiri yang menghalangi keagungan Islam akibat dari praktek-praktek keislaman yang justru tidak sesuai dengan nilai dasar Islam itu sendiri, karena perilaku keislaman terkadang hanya dibungkus dengan “simbol-simbol” yang hampa makna. Meski nilai ketuhanan selalu dikampanyekan tetapi nilai-nilai kemanusiaan terabaikan, agama menjadi terkesan garang, mencekam, meneror, keras dan kaku.

Hal-hal demikian tentunya menjadi kegalauan tersendiri bagi kita yang selalu mengharapkan bahwa proses keislaman seharusnya bernuansa Rahmatan lil-‘alamin, karena Nabi Muhammad diutus juga membawa misi rahmat bagi semesta alam. “Dan tiadalah Kami mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam”.

Belakangan, kita melihat terjadi “kelainan” dalam dunia dakwah Islam kita. Banyak orang atau bahkan kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai pendakwah, akan tetapi mereka seakan kehilangan “ruh al-da’wah” (spirit mengajak) dan yang terlihat justru “ruh al-adawah” (spirit memusuhi). Pernyataan ini bukan tanpa alasan, melihat massifnya aksi dakwah yang dilakukan oleh sebagian orang atau kelompok dengan mempertontonkan kebencian dan penolakan terhadap siapapun yang “berbeda” dengan mereka.

Tentu hal ini sangat disayangkan, karena semua sepakat, bahwa Islam tidak pernah mengajarkan diskriminasi, tidak pernah mengapresiasi konflik yang disulut oleh SARA. Sehingga, sekali lagi, kita harus mengingat kembali potret perjalanan dakwah Rasul Agung Muhammad SAW yang dipenuhi dengan “ruh al-da’wah” dan bukan “ruh al-adawah”.

Dalam melaksanakan aktifitas dakwahnya, Rasul selalu mengedepankan akhlaqul karimah, inspiratif, tidak hanya aspiratif. Inilah yang kemudian mewajarkan beliau mendapat pujian dari Allah “dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti luhur” (Qs. Al-Qalam/68: 4).

Ayat ini menurut Abu Na’im dalam al-Dala’il dan juga al-Wahidi dalam asbab al-nuzul adalah bentuk apresiasi Allah SWT terhadap keluhuran budi Rasulullah, karena dalam setiap hal, Rasul selalu menampakkan muka yang tersenyum (bassam), bahkan dalam komentar Aisyah, tiada seorangpun yang akhlaqnya lebih baik daripada Rasulullah.

Beliau apabila dipanggil oleh sahabat atau keluarganya selalu menyambutnya dengan muka yang tersenyum seraya mengucap “labbaik” (okey, dengan senang hati). Mendakwahkan Islam dengan muka yang tersenyum inilah yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa dakwah Rasulullah sering berhadapan dengan para penentang yang sangat keras, kaku, dan bahkan tidak manusiawi. Akan tetapi, itu semua tidak meruntuhkan moralitas Rasul yang sangat inspiratif. ketegasan yang penuh kesantunan selalu beliau jadikan sebagai model berdakwah.

Tetapi belakangan ini, seakan kita menyaksikan model-model dakwah yang “lain”, berteriak-teriak, melakukan sweeping, main hakim sendiri, merasa paling benar, paling berhak menghuni surga dan sebagainya, yang justru semakin terasa menjauhkan dakwah dari tujuan utamanya, yaitu mengeluarkan orang dari kegelapan menuju terang-benderang. Bagaimana mungkin bisa mengajak orang lain keluar dari kegelapan apabila praktik dakwahnya mengandung “kegelapan” juga?

Point penting yang dapat kita petik dari tulisan sederhana ini adalah keniscayaan menampilkan dan mendakwahkan Islam “with smiling face” (Islam dengan wajah yang tersenyum), Islam dengan tampilan keramahan, karena dengan Islam yang semacam inilah tujuan-tujuan persatuan dan persaudaraan baik antar maupun antara pemeluk agama dan juga antar dan antara warga bangsa dapat tercapai.

Agenda “mempersatukan” dan “mempersaudarakan” merupakan gerakan yang harus dilakukan oleh semua warga bangsa saat ini, bukan sekedar terwacanakan melalui berbagai pembicaraan dan diskusi yang terkadang tidak memiliki makna. Hal ini sangat penting dilakukan di tengah kondisi bangsa yang katanya menjunjung tinggi nilai persatuan tetapi berbagai aksi pemicu disintegrasi tak henti-hentinya merebak dan terkesan “didiamkan”.

Bangsa yang katanya bersaudara tetapi sering menampilkan jiwa-jiwa permusuhan. Bangsa yang katanya menjunjung tinggi demokrasi tetapi tidak siap untuk menerima perbedaan pendapat. Sektarianisme, arogansi kelompok atau golongan, kebiasaan “truth claim” dengan menyesatkan dan mengkafirkan kelompok lain menjadi pemandangan yang sangat biasa di depan mata. Dan hal-hal inilah yang seharusnya sekali lagi menjadi fokus lahan garap kita bersama dalam berdakwah. Wallahu A’lam.

* Dekan Fadakom UNISNU Jepara

Artikel ini telah dibaca 15 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Rajab, Saatnya “Mremo” Amal Kebaikan di Bulan yang Mulia

21 Desember 2025 - 19:55 WIB

Ustadz Miqdad Sya'roni

Hj. Nur Istiqlaliyah Kembali Nahkodai Muslimat NU Bangsri Periode 2025-2030

21 Desember 2025 - 19:34 WIB

Hj. Nur Istiqlaliyah Kembali Nahkodai Muslimat Bangsri

Bahtsul Masail Tingkat Mahasiswa Se-Jawa Tengah digelar di UNISNU, Soroti Kontroversi Terkait Hukum dan Politik

17 Oktober 2025 - 10:16 WIB

Aliansi Santri Jepara Desak Komdigi dan KPI Cabut Izin Trans7, Buntut Tayangan yang Lecehkan Pesantren

16 Oktober 2025 - 16:05 WIB

JADWAL Hari Santri Nasional 2025 di Jepara, Ada Muktamar Ilmu, Tanam Mangrove Hingga Santri Award

9 Oktober 2025 - 09:33 WIB

Ini Agenda Hari Santri Nasional di Desa Tahunan yang Wajib Kamu Ketahui

9 Oktober 2025 - 09:07 WIB

Trending di Kabar