Oleh : Ulil Abshor (Pengurus Ranting NU Desa Tahunan)
Tahun 1952 semenjak NU menyatakan keluar dari Masyumi, NU berubah menjadi kekuatan politik yang sangat besar dan menduduki peringkat ketiga pada pemilu 1955 setelah PNI dan Masyumi, disusul PKI dan PSII.
Meskipun pada awalnya NU diragukan oleh banyak orang terutama dari kalangan muslim modernis (Masyumi), namun NU membuktikan bahwa muslim tradisionalis yang selama ini dianggap sebagai kaum sarungan dan kampungan mampu bersaing dengan intelektual perkotaan yang dalam hal ini diwaliki oleh Masyumi, PNI, dan PKI.
Pada tahun 1950 ketika K.H. Wahab Hasbullah ditantang oleh kaum muslim modernis mengenai kapasitas NU dan sumber daya manusianya untuk berkiprah dalam politik nasional, K.H. Wahab Hasbullah dengan tenang menjawab: “ Jika saya membeli sebuah mobil baru maka penjual biasanya tidak akan bertanya apakah saya bisa mengendarai mobil atau tidak.
Sebab pertanyaan seperti itu tidaklah diperlukan karena jika saya tidak dapat mengendarai mobil maka saya bisa saja memasang iklan mencari supir. Tentu saja, akan segera terdapat antrian panjang calon-calon supir di rumah saya (Greg Barton, Biografi Gus Dur).
Pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan pemberontakan kaum separatis yang hendak mendirikan Negara Islam yang dipimpin oleh S.M. Kartosoewiryo dengan kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia).
Ada beberapa faktor ketidakpuasan kaum Islam konservatif mengenai dasar negara Indonesia, yakni dihilangkannya tujuh kata dalam piagam Jakarta yang berbunyi “Dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya”. Kaum Islam konservatif marah besar kepada Soekarno, sehingga suasana pasca Indonesia merdeka benar-benar belum sepenuhnya tenang.
Meskipun dari pihak NU yang diwakili oleh K.H. Wahid Hasyim pada waktu itu sangat menyetujui tujuh kata dimasukan kedalam dasar negara, namun K.H. Wahid Hasyim percaya bahwa mempertahankan tujuh kata tersebut akan menimbulkan sektarianisme dalam perpolitikan nasional.
Pada tahun 1958 beberapa tokoh Masyumi berkunjung ke Sumatra Barat yang pada waktu itu terdapat kelompok sparatisme Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sehingga terkesan Masyumi mendukung gerakan sparatis tersebut. Pada akhirnya tahun 1960 Soekarno membubarkan Masyumi.
Praktis sejak saat itu kekuatan politik nasional dikuasai oleh PNI sebagai partainya Soekarno, PKI, serta NU. Keadaan politik nasional belum benar-benar membaik. Kekuatan PKI begitu besar di daerah-daerah. Propaganda tentang isu agama secara langsung menyerang NU sebagai basisnya para muslim tradisionalis dengan Kyai dan Santri.
Ketegangan dan konflik horisontal terjadi di Jawa sebagai basisnya kaum Nahdliyin. Provokasi-provokasi yang dilakukan PKI terutama dalam masalah Land Reform menyebabkan penderitaan bagi Kiai, Santri dan Pesantren. Karena hak atas tanah dalam tradisi pesantren salah satunya berbentuk wakaf yang digunakan sebagai masjid, dan pondok pesantren.
Keberhasilan PKI dalam mendorong diterapkannya Undang-undang Pokok Agraria dan aksi sepihak mereka dengan kelompok Barisan Tani Indonesia (BTI) dalam merebut status tanah menyebabkan Konflik horisontal dan perang saudara yang berkepanjangan.
Pembantaian Kiai-kiai dan santri terjadi di daerah-daerah. Dalam konsep program PKI, tuan tanah di identifikasi sebagai salah satu “tujuh setan desa” yang harus dihilangkan dari muka bumi. Dalam hal ini tuan tanah salah satunya merujuk pada Kyai yang mempunyai tanah yang sangat luas.
Tumbangnya PKI setelah meletusnya Gestapu, dan runtuhnya Orde Lama membuktikan NU mampu bertahan dalam setiap zaman. Memasuki masa pemerintahan Orde Baru, hubungan NU dan Soeharto mengalami pasang surut.
Soeharto tampak sangat berhati-hati dalam memperlakukan NU karena setelah kebijakan Orde Baru dalam membatasi dengan hanya tiga partai para kiai NU yang berpengaruh mayoritas masuk ke dalam PPP. Diketahui bahwa basis dukungan warga NU dalam memberikan suara di pemilu mayoritas masuk ke PPP. Intervensi Soharto di dalam PPP sangat terasa ketika suara mayoritas kyai NU yang berkiprah di dalam PPP diabaikan begitu saja.
Setelah pada bulan Desember 1984 K.H. Abdurrrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Ketua Umum PBNU dalam Muktamar Situbondo, dan NU kembali ke khittah 1926 Gus Dur melihat pentingnya NU untuk memisahkan diri dengan PPP dengan alasan intervensi yang dilakukan oleh Soeharto dalam tubuh PPP begitu kuat. Intervensi yang dilakukan Soeharto melalui ketua PPP Djaelani Naro, semakin membuat anggota NU yang berada ditubuh PPP terpinggirkan.
Sehingga hampir tidak ada artinya untuk tetap bergabung bersama PPP. Tampaknya Soeharto mendapatkan “lawan” yang sepadan dalam diri Gus Dur. Soeharto selalu memperlihatkan peran ganda dalam menghadapi Gus Dur, satu sisi Soeharto sangat membutuhkan Gus Dur dalam menjalankan pemerintahannya karena di belakang Gus Dur terdapat jutaan warga Nahdliyin.
Namun di sisi lain Soharto sangat ingin menyingkirkan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU. Hal ini terlihat dalam Muktamar NU November 1994 di Cipasung. Suasana Muktamar begitu mencekam seperti yang digambarkan oleh (Greg Barton, Biografi Gus Dur).
Upaya untuk menjegal Gus Dur untuk maju sebagai Ketua Umum yang ketiga kalinya sangat terasa dalam minggu-minggu terakhir Muktamar. Kelompok Abu Hasan rival Gus Dur yang didukung oleh Soharto melancarkan aksi dengan nama ABG (Asal Bukan Gus Dur).
Salah satu tokoh penting dalam kampanye ini adalah Letjen Hartono, ketika itu menjabat sebagai Kassospol ABRI. Keberadaan Tentara dalam pengamanan Muktamar sangat besar melebihi keberadaan Banser, sehingga Gus Dur membuat lelucon dengan mengatakan “terimakasih kepada tentara yang telah meminjami serdadu kepada Banser”.
Setelah Orde Baru tumbang pada tahun 1998 dan naiknya Gus Dur sebagai Presiden adalah kemenangan seluruh warga NU. Namun lagi-lagi NU mendapatkan ujian yang sangat berat dalam perpolitikan nasional dengan dilengserkannya Gus Dur sebagai Presiden.
Kemarahan warga Nahdliyin dalam membela Gus Dur sepertinya akan menimbulkan kerusuhan yang lebih luas. Warga Nahdliyin yang mengatasnamakan Pasukan Berani Mati mengepung kota Jakarta. Mobilisasi dari tiap-tiap daerah menuju Jakarta menjadi keprihatinan para Kiai sepuh. Lagi-lagi NU menunjukan kelasnya sebagai organisasi yang lebih mementingkan negara dan kemanusiaan. People Power ala warga Nahdliyin mampu diredam oleh kiai sepuh, dan berubah menjadi kegiatan Istigatsah.
Hal yang sama terjadi dalam pemilu tahun 2019, di mana NU beserta kiai-kiai sepuh mendapatkan serangan yang luar biasa dari para pembenci NU. Namun NU didirikan oleh para Ulama’ bukan sekedar organisasi massa, namun lebih dari itu.
Organisasi NU didirikan oleh para Ulama’ dalam rangka syi’ar agama Islam sesuai dengan tuntunan Ahlussunah Waljama’ah. Dan yang paling penting bahwa tidak diragukan lagi peran NU dalam menjaga dan merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Bhineka Tunggal Ika. Karena NU merupakan sebuah organisasi yang ikut membidani lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta organisasi yang mencetuskan tentang Hubbul wathan minal iman, mencintai negara sebagian dari iman. Wallahua’lam. (*)