Oleh Abdul Wahab Saleeem*
RAMADAN oleh kebanyakan umat Islam selalu diidentikkan dengan bulan yang penuh rahmat (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan itqun minan-nar (kemerdekaan dari neraka). Hal ini sesuai dengan salah satu potongan hadits yang di riwayatkan Sa’id Ibn al-Musayyab dari Salman yang artinya “…Ramadan merupakan bulan yang awalnya merupakan rahmat, pertengahannya merupakan ampunan, dan akhirnya merupakan kemerdekaan dari api neraka”. Meski kualitas hadits ini tidak dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya, akan tetapi kandungannya sangat elegan dan berhasil memotivasi banyak orang untuk selalu menghiasi Ramadan dengan berbagai aktivitas ibadah.
Dalam memahami potongan hadits tersebut, penulis lebih memaknai bahwa antara rahmat, ampunan, dan kemerdekaan dari api neraka merupakan urutan bersyarat yang saling berkait berkelindan. Artinya, seseorang yang diberi anugerah dapat bertemu dengan Ramadan berarti ini merupakan bukti bahwa ia telah mendapatkan rahmat Allah, karena tanpa kasih sayang-Nya seseorang belum tentu dapat bertemu dengan Ramadan. Kemudian ia akan mendapatkan ampunan apabila mau mempergunakan rahmat -berupa bertemu dengan Ramadan tersebut- dengan berbagai aktivitas kebajikan dan ibadah terutama puasa dan menghidupkan malam Ramadan, kemudian apabila ampunan yang telah didapatkan tersebut terus dipertahankan tetap dengan aktivitas kebajikan dan ibadah maka secara otomatis kemerdekaan dari api neraka akan digenggam pula. Jadi mafhumnya, apabila seseorang telah di beri rahmat (berupa bertemu dengan Ramadan) akan tetapi tidak dipergunakan untuk aktivitas kebajikan dan ibadah, tidak mau berpuasa, tidak mau beramal salih, bahkan cenderung melanggar dan -apalagi- mengajak yang lain untuk melanggar, maka logikanya, ia tidak mungkin mendapatkan ampunan. Dan apabila ampunan tidak didapatkan, maka tidak mungkin ia merdeka dari api neraka.
Ilustrasi tentang hal-ihwal puasa Ramadan di atas seakan berbanding lurus dengan potret sejarah perjalanan bangsa kita, di mana awal berdikarinya bangsa ini adalah dimulai dari kemerdekaan, sementara kemerdekaan bangsa ini tidak terlepas dari unsur rahmat, sebagaimana terungkap dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”. Sehingga dari sini, pemahaman yang sama juga dapat kita gunakan, artinya, ketika bangsa Indonesia telah dianugerahi rahmat dari Allah berupa perjuangan yang tidak sia-sia, yang akhirnya melahirkan kemerdekaan, maka apakah rahmat yang telah diperoleh tadi dipergunakan untuk membangun jiwa dan raga bangsa? Ataukah bahkan dengan rahmat kemerdekaan itu malah kita menjadi congkak, banyak melakukan perusakan, penindasan, eksploitasi dan mafsadat yang lain?. Apabila dengan rahmat itu kita semakin giat membangun jiwa dan raga bangsa dengan segala dinamikanya, maka akan kita rasakan kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu terbebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan baik secara teologis, kosmos, maupun kosmis. Dan tentu akan terwujud bangsa dan negara yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan, serta terwujud pula tatanan masyarakat madani yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan tatanan kemanusiaan.
Akan tetapi apabila yang terjadi justru sebaliknya, yaitu mengingkari rahmat yang di berikan oleh Allah, maka patut kita renungkan kembali QS Al-Fajr Ayat 6-13, yaitu cuplikan kisah tentang kaum ‘Ad (etnis ‘Iram) yang sangat terkenal sebagai raksasa di bidang teknologi yang tak tertandingi oleh budaya apapun di zamannya, kemudian kaum Tsamud yang popular sebagai raja di bidang arsitektur, serta dinasti Fir’aun yang merajai teknologi persenjataan. Akan tetapi justru dengan semua nikmat dan rahmat kejayaan itu mereka menjadi ingkar, berkhianat, congkak, banyak berbuat kerusakan, mereka berperilaku diktator, melanggar hak asasi manusia (HAM), dan mencederai undang-undang dan beragam aturan mereka ciptakan sendiri, mereka menganjurkan hidup sederhana, tapi mereka hidup berfoya-foya, serta berbagai pelanggaran norma kemanusiaan yang lain, sehingga sangat wajar apabila Allah –Pemberi rahmat- membinasakan dan mengazab mereka. Na’udzu billah….
Puasa Ramadan dan cita-cita kemerdekaan bangsa sama-sama merupakan upaya pembangunan jiwa dan raga menuju tatanan kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan yang lebih ideal melalui upaya perwujudan insan-insan bertakwa. Ramadan merupakan momentum yang sangat tepat untuk berintrospeksi, mengingat ibadah puasa yang kita jalankan di dalamnya memberi pembelajaran tentang bagaimana kita memegang komitmen, taat aturan, disiplin, dan juga bagaimana menjadi pribadi yang loyal dan jujur. Sehingga, puasa Ramadhan seharusnya berimplikasi terhadap penataan kembali nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan menuju tatanan yang lebih bermartabat, dengan cara mengesampingkan –minimal menahan diri- dari segala godaan nafsu, baik nafsu hayawaniyah yang berwujud kerakusan dan “kebodohan” maupun nafsu syaithaniyah yang menjelmakan diri sebagai kediktatoran, kecongkakan, dan segala jenis pelanggaran akan norma-norma.
Dari semua hal di atas, tentunya kita masih boleh berharap, seandainya saja semua warga bangsa dengan segala atribut yang disandangnya mampu dan mau memegang komitmen, loyalitas dan kejujuran sebagaimana yang melekat pada diri orang-orang yang berpuasa, niscaya tidak akan ada korupsi, kolusi, nepotisme, manipulasi, eksploitasi, serta berbagai macam pelanggaran dan kejahatan kemanusiaan yang lain. Sehingga kemerdekaan ganda yang hakiki, yaitu merdeka dari neraka, baik neraka yang diancamkan oleh Allah di akhirat nanti, maupun neraka yang berbentuk penjajahan dengan segala model dan bentuknya dapat kita genggam, dan bangsa kita menjadi bangsa yang baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur….Merdeka Bangsa Indonesia….Semoga. Wallahu A’lam bi al-shawab.
*Penulis adalah dosen dan Kaprodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Unisnu Jepara.