Belum lama ini, Pengurus Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara melakukan launching Rijalul Ansor di wilayah setempat. Acara selapanan tersebut dikemas dengan kurikulum keislaman dan kebangsaan yang disampaikan dalam setiap kali dilaksanakan. Hal tersebut menjadikan acara tidak sebatas rutinitas semata.
Menarik, karena ada kurikulum yang sudah dipersiapkan oleh para pengurus untuk mengisi acara setiap 35 hari sekali atau selapanan. Selama ini yang penulis ketahui di beberapa tempat, acara Rijalul Ansor hanya sebatas pembacaan dzikir, shalawat, dan doa.
Acara semacam itu ada yang menyebut dengan Islam kultural. Tentu saja itu baik, apalagi bagi komunitas nahdliyin. Hanya saja bagi generasi muda Nahdlatul Ulama (NU), penambahan materi yang bersifat ilmiah diperlukan. Mengingat, mereka adalah penerus estafet perjuangan organisasi ke depannya. Berbagai perangkat keilmuan dan keterampilan perlu dilimiliki. Masa depan NU ke depannya tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pemuda Ansor sekarang.
Secara umum materi atau pembahasan yang sudah dijadwalkan berisi dengan tema-tema peneguhan paham Aswaja dan persoalan kontemporer. Persoalan kekinian seperti khilafah, syiah, nasionalisme, sampai pada landasan teologis amaliyah warga nahdliyin disajikan. Tujuannya adalah untuk menambah wawasan baik keislaman atau kebangsaan khususnya bagi para kader Ansor. Secara umum adalah masyarakat sekitar.
Mafhum diketahui bahwa Rijalul Ansor adalah lembaga semi otonom dari GP Ansor. Rijalul Ansor menjadi kawah candradimuka bagi para kader untuk mematangkan diri, terutama dalam aspek spiritual dan intelektual. Bahasa sederhananya, para kader Ansor senantiasa berdzikir juga berfikir. Melalui Rijalul Ansor, para kader dapat mengembangkan diri dalam hal spiritual dan intelektual.
Dalam konteks bahasa, kata “rijal” merupakan jamak dari kara “rojul” yang bermakna orang laki-laki. Di dalam aturan organisasi pun penulis belum menemukan makna dari Rijalul Ansor, tidak lebih hanya sebatas nama lembaga.
Penulis pernah mendapatkan makna “rijal” dari Habib Syeh bin Abdul Qadir Assegaf Solo. Makna yang diberikan adalah “pendekar”. Saat itu konteks yang diberikan adalah pemaknaan dari syair Manakib Syeh Abdul Qadir al-Jailani, ibadallah rijal allahu, aghitsuna li ajlillah…..” Barangkali makna pendekar dapat dipakai untuk menyebut Rijalul Ansor, pendekarnya Ansor.
Kurikulum yang sudah dirancang tidak hanya untuk wilayah kecamatan, tetapi juga diturunkan kepada setiap ranting atau desa agar dapat melaksanakan kurikulum. Dan dalam jangka waktu tertentu, para pengurus di tingkat kecamatan akan turun ke bawah (turba) untuk memberikan materi atau memantau kegiatan Rijalul Ansor di tingkat ranting.
Dalam jangka waktu panjang, diharapkan pemahaman kurikulum Aswaja dapat tersampaikan sampai pada tingkat bawah. Alhasil, ketika ada kegelisahan masyarakat tentang problematika kekinian, para kader Ansor dapat memberikan jawaban. Atau sekurang-kurangnya dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri. Para kader Ansor adalah kader masa depan Nahdlatul Ulama. Sekali lagi, di pundak mereka masa depan NU berada.
Kompleks
Tantangan zaman semakin kompleks. Nahdlatul Ulama (NU) baik sebagai jamaah dan jamiyah harus merespons pelbagai peluang maupun tantangan yang ada dewasa ini. Yang dihadapi masyarakat tidak hanya satu aspek, tetapi lebih. Dalam satu organisasi atau grup bisa jadi seseorang menjadi atasan, tetapi pada saat yang lain, di organisasi yang berbeda menjadi setara atau bahkan di bawah. Masih relatif sederhana jika hanya pada posisi atau jabatan. Akan menjadi rumit ketika itu sudah pada ranah kepentingan, politik.
Realitas semacam itu menjadi gambaran umum masyarakat dewasa ini. Dengan kondisi yang demikian, para kader Ansor dapat menentukan posisi. Di manapun posisi yang didapatkan dan di mana pun, sedapat mungkin kepentingan untuk paham Aswaja dapat dikedepankan.
Misalnya ketika di tempat bekerja sedang menghadapi kesulitan, kaidah fikih darul mafasid muqoddamu a’la tajlibu al-mashalih, mengutamakan menolak kerusakan daripada mengambil manfaat. Contoh kecil itu dapat dijadikan sebagai gambaran bahwa masih ada banyak hal yang perlu dipelajari untuk merespons tantangan zaman yang senantiasa berubah.
Di samping kegiatan selapanan Rijalul Ansor, ada juga pelatihan yang diorientasikan untuk para kader Ansor. Mereka dipilih dari masing-masing ranting untuk mewakili wilayahnya. Beberapa materi dan keterampilan diberikan untuk melatih agar semakin berkompeten.
Diharapkan, setelah itu pada kader pelatihan akan membumikan keilmuan yang diterima kepada kader yang lainnya. Kegiatan semacam itu tentu akan mempercepat diaspora paham Aswaja di kalangan pemuda. Sekali lagi, kegiatan semacam ini dilakukan untuk melestarikan kultur yang baik dan merespons tantangan zaman yang senantiasa berubah. (*)