Menu

Mode Gelap
Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat (25) NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 )

Esai · 4 Apr 2023 05:03 WIB ·

Ibadah Puasa dan Perlawanan Fitrah Manusia


 Ibadah Puasa dan Perlawanan Fitrah Manusia Perbesar

oleh Dr. Muh Khamdan

Ya Ayyuhalladzina Amanu Kutiba Alaikumusshiyam, Kama Kutiba Alalladzina Minqoblikum La’allakum Tattaqun

Demikian bunyi dalil dalam Surat Al Baqarah ayat 183, yang dijadikan sandaran wajibnya puasa bagi kaum muslim. Namun sesungguhnya, ayat tersebut sama sekali tidak menyebut identitas muslim tetapi menyebut kepada orang-orang beriman. Jika diartikan secara gramatikal, setidaknya ayat tersebut berbunyi “hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kami berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar bertaqwa”.

Tentu dari dalil tersebut akan memunculkan tanya tentang perbedaan orang Islam dan orang beriman. Apakah orang beriman itu pasti muslim? Ataukah muslim itu belum tentu beriman? Dan mengapa Allah tidak menyeru dengan “Ya Ayyuhal Muslimun” tetapi dengan seruan “Ya Ayyuhalladzina Amanu”?.

Persoalan tentang identitas muslim dan mukmin setidaknya mengingatkan atas peristiwa Arab Badui era Rasulullah. Komunitas Badui yang identik tinggal di gunung dan daerah terpencil dari komunitas Arab lain itu suatu saat mengaku sudah beriman, tetapi justru Allah menyebut mereka belum beriman tetapi baru sekadar berislam. Apa pasalnya? Keberimanan belum masuk pada hati dan masih pada fase asesoris lahiriyah berupa ritual keislaman. Kisah tersebut diabadikan dalam Surat Al Hujurat ayat 14.

Kisah Badui setidaknya menguatkan bahwa Islam adalah ritual lahiriyah, atau fase yang tampak pada diri manusia. Pada posisi lain, keberimanan adalah ritual batiniyah yang hanya dapat diketahui oleh Allah. Oleh karenanya, pahala puasa tak bisa dikuantitaskan seperti hitungan ibadah lainnya karena puasa adalah urusan langsung pada Tuhan.

Karena iman bukan lagi urusan lahiriyah manusia tetapi urusan Tuhan, maka sebagian ulama kemudian memerinci level keimanan dari muslim, mukmin, muhsin, muhlis, dan muttaqin. Maka terdapat titik temu bahwa seseorang yang sudah beriman diwajibkan puasa agar bisa mencapai level tertinggi yaitu muttaqin atau orang-orang yang bertaqwa.

Manusia dalam memerankan diri sebagai makhluk sekaligus khalifah di bumi, sudah sejak awal dibekali adanya potensi-potensi diri sebagai manusia. Potensi tersebut kemudian cenderung dikenal dengan nama fitrah. Fitrah inilah yang kemudian mampu menempatkan seseorang lebih durhaka daripada Iblis atau lebih beriman daripada Malaikat.

Banyak ragam pendapat mengenai fitrah itu sendiri. Salah satunya adalah pemaknaan fitrah sebagai sifat bawaan manusia, bahkan siapapun manusianya. Sifat bawaan itu jugalah yang dialami para Nabi sekalipun, yaitu kalau lapar maka perlu makan, kalau sedih maka perlu menangis, kalau sakit maka perlu istirahat, kalau dingin perlu sesuatu yang menghangatkan, dan jenis-jenis sifat manusiawi lainnya. Pada konteks tersebut maka dapat difahami bahwa ibadah puasa adalah ibadah yang ditujukan untuk mengendalikan kefitrahan manusia itu sendiri.

Allah sudah terlalu baik memberikan pada diri manusia segala sesuatu, meskipun tanpa diminta. Manusia siapapun dirinya, sudah memiliki potensi sekaligus jaminan rizki. Akan tetapi, sebagai bentuk dari ujian kehambaan maka Allah memberi rasa keinginan atau syahwat pada manusia. Maka sesungguhnya, setan pada diri manusia adalah mengalahkan syahwat.

Manakala takaran dari manusia adalah kebutuhan, seteguk air putih tentu sudah mencukupi kebutuhan manusia. Akibat adanya syahwat, maka muncul beragam keinginan dari es campur, es kolak, es buah, es pisang ijo, atau es cincau yang siap meramaikan turnamen takjil setiap sore. Maka tak heran jika saat pasukan muslim usai Perang Badar di tengah bulan Ramadhan menyebut bahwa jihad akbar baru selesai, sontak Rasulullah mengingatkan bahwa jihad terbesar justru adalah memerangi hawa nafsu diri sendiri. Dan bagian dari nafsu tersebut adalah syahwat atas keinginan pada segala sesuatu tanpa batas.

Dengan demikian, perintah ibadah puasa sesungguhnya adalah perintah untuk berperang pada fitrah kemanusiaan. Perintah untuk mengendalikan segala kefitrahan, manakala haus maka tahanlah, manakala mengantuk maka tahanlah, manakala libido meningga maka tahanlah, manakala banyak rizki maka tahanlah. Karena sesungguhnya orang yang mampu menahan syahwat dan kefitrahan itu akan menjumpai dan bertemu pada kefitrahan-kefitrahan yang lain, yaitu fitrah sebagai hamba dalam kepasrahan serta ketertundukan.

*Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Jakarta, Pembina Paradigma Institute, dan Kader Muda NU Nalumsari

Artikel ini telah dibaca 103 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Menyingkap Makna Perintah Membaca dalam Al-Qur’an

24 Maret 2024 - 11:48 WIB

Garam : “Misi Suci” Yang Sering Terkapitalisasi!

15 Agustus 2023 - 05:03 WIB

Ngaji Tematik : Banyak Pintu Meraih Sukses

8 Mei 2023 - 09:01 WIB

Menunaikan Zakat Hakikat Menjaga Keamanan Dan Ketentraman Negara

10 April 2023 - 05:54 WIB

Ngaji Tematik Ramadhan: Keluarga dan Relasi Sosial 

9 April 2023 - 22:30 WIB

Ngaji Tematik Ramadhan: Challenges and Hopes in Islam 

6 April 2023 - 22:57 WIB

Ilustrasi pentingnya optimisme dalam labirin kehidupan
Trending di Esai