Menu

Mode Gelap
NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 ) Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat ( 2 )

Esai · 8 Jun 2021 14:58 WIB ·

Melahirkan Cinta Pancasila Seutuhnya


 Melahirkan Cinta Pancasila Seutuhnya Perbesar

Oleh: Hamidulloh Ibda*)

Dalam kamus pemuda, cinta yang bertahan lama adalah cinta seutuhnya. Cinta harus sejati, sepenuh hati, tak setengah hati apalagi tanpa hati. Hakikat cinta tak sekadar permainan kata-kata. Namun bukti cinta adalah pelaksanaan dari kata-kata. Demikian kira-kira ukuran cinta sejati kepada manusia, negara bahkan agama.

Pelaksanaan cinta bermakna luas, karena kita harus tulus, ikhlas dan rela berkorban. Apa saja yang terjadi pada negara dan agama, kita wajib membelanya. Sebab, hakikat cinta adalah berkorban. Dorongan cinta bukan pada “mendapatkan apa” melainkan pada “memberikan apa”. Ketika ada gangguan dari dalam dan dari luar yang mencoba menggembosi keutuhan negara maka kita wajib membelanya. Begitulah yang dicontohkan para pejuang, pahlawan, ulama, kiai, yang dulu rela kehilangan harta benda, keluarga, bahkan nyawa demi keutuhan negara.

Cinta pada negara dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Ibnu Hibban dan Tirmidzi juga dijelaskan Rasulullah ketika bepergian jauh segera mempercepat unta yang dinaikinya karena kecintaan beliau pada Madinah. Rasulullah merindukan dan mencintai Madinah maupun Makkah karena kedua kota ini adalah tanah airnya. Dalam kitab Fath al-Bari Juz 3 (1998: 705), Al-Hafidh Ibnu Hajar al-‘Asqalani menegaskan hadis itu menekankan keutamaan Madinah, kita dianjurkan cinta tanah air dan merindukannya.

Dalam kitab Dalilul Falihin (1971:37), Syekh Muhammad Ali menegaskan “cinta tanah air bagian dari iman.” Menurut Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947), cinta kepada bangsa disebut hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman). Artinya, mencintai negara bukan sekadar urusan manusia dengan manusia, namun juga ikatan cinta manusia dengan Tuhan dan alam. Ketika paradigma ini dilakukan maka akan memutus mata rantai perselingkuhan bahkan pengkhianatan kepada negara.

Penyebab Pengkhianatan Cinta

Realitasnya tak semua perjalanan cinta berjalan mulus. Ada banyak ganggungan dalam episode percintaan itu, baik cinta kepada manusia, negara, bahkan kepada agama. Kita dapat belajar lewat film Kera Sakti yang berangkat dari novel Perjalanan ke Barat. Dalam novel itu, Panglima Tian Feng (Cu Pat Kay) memiliki kata bijak “sejak dulu beginilah cinta, penderitaannya tiada akhir” (Wu Cheng’en, 1993).

Rumus cinta Cut Pat Kay ini memberikan pesan jika tak ingin menderita jangan bermain cinta. Namun, cinta adalah fitrah dari Tuhan yang diberikan kepada manusia. Tak heran lewat lagu Renungkanlah, Muhammad Mashabi (1943-1967) menulis lirik setiap insan memiliki rasa cinta, dan semua itu ciptaan Tuhan bukan ciptaan manusia.

Namun tak setiap insan memiliki kemapanan cinta. Ketika tak mapan, apa saja bisa terjadi termasuk perselingkuhan. Dalam filsafat manusia, pengkhianatan cinta berawal dari minimnya rasa memiliki. Namun ternyata faktor ekonomi lebih dominan mengikis rasa cinta, baik pada manusia maupun negara. Seperti contoh dalam pernikahan, kebanyakan masalah ekonomi menjadi penyebab perceraian. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan ketika tak tercukupi, maka ikatan cinta saat akad nikah akan pupus dan berhenti di tengah jalan.

Di Kabupaten Bandung pada Juni 2020 menurut data Pengadilan Agama Bandung ada 1012 kasus gugatan cerai. Padahal biasanya sebulan hanya 700-800. Alasan perceraian itu karena suami tak dapat memberi nafkah dan kesejahteraan pada istri. Rasio perceraian di Jateng juga ironis karena tertinggi nasional. Pada 2019 dari 10 ribu penduduk terjadi 88,9 kasus perceraian. Simpulannya, setiap 10 ribu rumah tangga di Jateng ada 89 kasus perceraian (Rizaty, 2021).

Dalam konteks negara, belakangan banyak kasus pengkhianatan. Hal ini bukan faktor pengkhianatan murni, namun karena faktor kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Indonesia menurut BPS per Maret 2020 sebesar 10,19 persen. Angka ini meroket karena sebelumnya 9,22 persen. Data BPS pada 15 Februari 2021 menyebut tingkat kemiskinan Papua tertinggi di Indonesia karena mencapai 26,8 persen.

Kemiskinan di atas berdampak pada ketahanan bangsa. Wujud riilnya konflik berkepanjangan di Papua. Seharusnya, konflik itu diselesaikan secara mendasar, yaitu melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi, dialog, diplomasi, bukan jalan kekerasan bersenjata. Hal itu justru menimbulkan korban, utamanya aparat TNI-Polri, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) bahkan warga sipil. Kasus separatisme di Papua ini akan selesai ketika pengentasan kemiskinan segera direalisasikan.

Pancasila dan Peningkatan Ekonomi

Kita harus realistis, ketika berharap masyarakat cinta Pancasila, UUD 1945, dan NKRI, namun selama urusan ekonomi belum rampung maka sangat susah terwujud 100 persen. Ketika rakyat mapan, mereka dengan latar belakang agama, aliran kepercayaan dan ideologi apapun akan tenang.

Ketika masyarakat sudah sejahtera, Pancasila tak perlu “dibumikan” akan membumi dan akan menjadi ideologi sendiri. Secara antropologis, Pancasila lahir di Nusantara dan tak perlu dibumikan kembali. Realitasnya, yang percaya dan cinta Pancasila seutuhnya adalah mereka yang ekonominya mapan, seperti ASN, akademisi, birokrat, dan kelas menengah ke atas.

Lalu, bagaimana dengan rakyat bawah? Jangankan berpikir Pancasila, otak mereka habis memikirkan “besuk makan apa”. Apalagi efek pandemi covid-19 ini merenggut segala bentuk nilai dan cinta. Jalan keluarnya adalah peningkatan ekonomi berdasarkan Pancasila. Pemerintah harus “pancasilais” seutuhnya dengan melaksanakan Pancasila.

Spirit menguatkan cinta dan peningkatan ekonomi Pancasila harus kita gerakkan tiap hari. Dalam Pancasila, semua sila mulai dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia harus benar-benar terlaksana.

Kelahiran Pancasila menjadi embrio lahirnya Trisakti yaitu berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya. Artinya, amanat ini tidak hanya soal urusan politik dan budaya, namun juga kemandiran dalam ekonomi. Ketika rakyat Indonesia sudah mandiri dalam ekonomi, maka mencintai Pancasila tak sekadar teori.

Beberapa formula perlu dilakukan. Pertama, penguatan ideologi Pancasila dalam kebijakan ekonomi. Kedua, implementasi ekonomi Pancasila dengan ruh ketuhahan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Ketiga, pengarusutamaan “kesejehateraan sosial” untuk “keadilan sosial” dalam semua kebijakan. Keempat, pemerataan lapangan kerja untuk rakyat khususnya di pinggiran.

Solusi di atas tak sekadar tugas Presiden dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Semua kementerian, ormas, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan diri sendiri harus kontinu “melahirkan cinta Pancasila” setiap saat. Kalau sudah cinta Pancasila, apa saja akan dikorbankan. Logikanya, apakah ada mawar yang tak berduri? (*)

__Hamidulloh Ibda merupakan dosen dan Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan INISNU Temanggung (2021-2025), Kabid Media, Hukum dan Humas Forum Koordinasi dan Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah (2020-2021), Pengurus Perkumpulan Dosen PGMI Korwil Jateng-DIY (2017-2021), Pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jateng (2017-2021), Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif PWNU Jawa Tengah (2018-2023), Pengurus Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Temanggung (2019-2024), Dewan Pengawas LPPL Temanggung TV (2020-2023), Pengurus Forum Pendidik Madrasah Inklusi (FPMI) Kemenag RI (2021-2025), Fasilitator Provinsi Bidang Literasi-MI: Proyek Realizing Education’s Promise Madrasah Education Quality Reform (REP-MEQR) Kemenag-World Bank (2021-2024). Sebanyak 20 buku sudah ia tulis, dan mengedit sebanyak 146 buku lintas tema. Ia menjadi pimred, editor, dan reviewer di sejumlah jurnal ilmiah. Aktif menulis sejak 2008 berupa artikel dan esai populer yang dimuat di beberapa media cetak dan siber, seperti Harian Pelita, Jurnal Nasional, Kompas, Koran Jakarta, Media Indonesia, Republika, Sinar Harapan, Suara Karya, Barometer, Duta Masyarakat, Harian Semarang, Harian Bhirawa, Jateng Pos, Joglosemar, Koran Muria, Malang Post, Radar Tegal, Rakyat Jateng, Satelitpost, Solopos, Suara Merdeka, Wawasan, Harian Singgalang, Harian Tabengan, Harian Vokal, Harian Haluan, Haluan Kepri, Jurnal Medan, Koran Madura, Lampung Post, Metro Siantar, Padang Ekspres, Pikiran Merdeka, Radar Bangka, Radar Lampung, Radar Totabuan, Riau Pos, Surat Kabar PAB Indonesia, Waspada, Harian Mata Banua, dan sebagainya. Banyak juga tulisannya dipublikasikan media online, seperti media Atjehlink.com, Beritagar.id, Detik.com, Islamcendekia.com, Islami.co, Dutaislam.com, Koranfakta.com, Tempo.co, Koranmuria.com, Galamedianews.com, Lintasgayo.com, Okezone.com, Rimanews.com, Murianews.com, Faktualnews.co, Siedoo.com Alif.id, Tabayuna.com, Harianguru.com, Harianblora.com, Hariantemanggung.com, Koranpati.com, Harianjateng.com, NU Online (Nu.or.id), Pcnutemanggung.or.id, Indonesiana.id, Qureta.com, Harakatuna.com, Jalandamai.org, Scholae.co, Nusantaranews.co, Indotimur.com, Wartanasional.com, Basabasi.co, Ngopibareng.id, Maarifnujateng.or.id, Magrib.id, dan lainnya. Beberapa kejuaraan dan penghargaan pernah ia gondol. Mulai dari Juara I Lomba Artikel Tingkat Nasional Kemdikbud (2018), Juara I Lomba Esai Tingkat Nasional Fakultas Filsafat UGM (2018), Juara Harapan VI Sayembara Abjadia: International Journal of Education (2019), Penulis Artikel Jurnal Ilmiah Terproduktif (2019), Nominasi 5 Lomba Artikel, Karya Jurnalistik dan Foto Hardiknas Kemdikbud  Tingkat Nasional (2019), Juara I Sayembara Jurnal Khazanah UIN Antasari (2019), Terbaik 4 Lomba Karya Jurnalistik Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (2019), Juara II Lomba Esai Populer Tingkat Nasional UIN Suska Riau (2021), Penulis Terpilih Kategori Artikel-Esai Ma’arif NU Jateng (2019-2020). Penulis sehari-hari bekerja sebagai dosen dan kini sedang menempuh studi S3 Pendidikan Dasar UNY.

Artikel ini telah dibaca 29 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Menyingkap Makna Perintah Membaca dalam Al-Qur’an

24 Maret 2024 - 11:48 WIB

Garam : “Misi Suci” Yang Sering Terkapitalisasi!

15 Agustus 2023 - 05:03 WIB

Ngaji Tematik : Banyak Pintu Meraih Sukses

8 Mei 2023 - 09:01 WIB

Menunaikan Zakat Hakikat Menjaga Keamanan Dan Ketentraman Negara

10 April 2023 - 05:54 WIB

Ngaji Tematik Ramadhan: Keluarga dan Relasi Sosial 

9 April 2023 - 22:30 WIB

Ngaji Tematik Ramadhan: Challenges and Hopes in Islam 

6 April 2023 - 22:57 WIB

Ilustrasi pentingnya optimisme dalam labirin kehidupan
Trending di Esai