Menu

Mode Gelap
Baznas Jepara Salurkan 400 Paket Sembako untuk Cegah Stunting Cerpen Gus Mus: “Kang Amin” Lakon ‘Sang Naga Samudera’ akan Pentas di Karimunjawa PC ISHARI NU Jepara akan Warnai Festival ‘Todok Telok’ di Karimunjawa dengan Shalawat Romantisnya Hubungan NU dan Ba’alawi di Jepara, Pondasinya Dibangun Keturunan Habib Pengikut Pangeran Diponegoro

Esai · 6 Agu 2021 04:02 WIB ·

Membangun Kultur Efikasi dalam Menanamkan Nilai-nilai Pancasila


 Membangun Kultur Efikasi dalam Menanamkan Nilai-nilai Pancasila Perbesar

Oleh: Sri Wahyuni*)

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman suku, budaya, bahasa serta pulau-pulau yang membentang di dalamnya. Untuk menyatukan keberagaman tersebut dalam satu wadah yang utuh yaitu dalam bingkai yang disebut  bangsa tentunya dibutuhkan alat pemersatu yang kokoh dan diyakini mampu eksis serta dapat diterima oleh berbagai elemen dan unsur masyarakat yang kompleks. Alat pemersatu tersebut adalah pancasila yang sekaligus merupakan dasar falsafah dan ideologi negara.

Perkembangan zaman yang begitu pesat membawa pengaruh tersendiri terhadap terkikisnya budaya lokal. Westernisasi menjadi penyebab sebagian masyarakat kita untuk bergaya kebarat-baratan yang mengakibatkan lunturnya rasa cinta terhadap budaya sendiri.

Memang tidak semua budaya dari barat bernilai negatif, ada juga nilai-nilai positif yang dapat kita ambil di dalamnya, semisal budaya belajar, budaya disiplin dan lainnya yang mempunyai nalai positif. Meskipun demikian filterisasi atau penyaringan dalam menerima budaya asing sangat diperlukan demi menjaga adat dan budaya yang telah ada selama ini. Adat dan budaya yang dimiliki Indonesia merupakan jati diri bangsa yang mana telah menjadi kekayaan, ciri khas serta identitas bangsa dengan bangsa lain. Maka demikianlah perlunya sikap selektif untuk menyaring budaya-budaya yang bernilai negatif yang dapat menggerus rasa cinta, rasa bangga, dan loyal terhadap budaya bangsa Indonesia.

Baru-baru ini banyak terjadi perpecahan antar anak bangsa yang dipicu persolaan perbedaan yang ada di antara masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa penanaman nilai-nilai pancasila belum maksimal untuk dijalankan. Radikalisme dan gerakan anti pancasila menjadi masalah besar yang harus diselesaikan dengan memutus tali rantainya.

Radikalisme dan gerakan anti pancasila menghendaki tegaknya pendirian Negara yang berdasarkan hukum agama Islam atau saat ini yang sering digaungkan adalah Negara khilafah. Akan tetapi jika ditinjau histori dan demografinya, penegakan Negara khilafah sangat tidak cocok untuk Indonesia yang mempunyai beberapa agama serta kepercayaan.

Secara histori Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang beragama Islam saja, akan tetapi semua agama yang ada di Indonesia turut ikut serta memperjuangkan, sebut saja Imam Bonjol dan Diponegoro (Islam), Martha C. Tiahahu dan Piere Tendean (Nasrani), dan masih banyak lagi yang belum disebutkan. Jadi sangat tidak bijak jika hanya satu konsep ajaran agama saja yang digunakan dalam pembentukan ideologi Negara. Sehingga sila pertama pancasila sudah cukup mewakili keberadaan agama-agama yang ada di Indonesia.

Penanaman keyakinan dan pengamalan nilai-nilai pancasila sudah seyogyanya diterapkan sedini mungkin sebagai upaya langkah preventif dalam menaggapi berbagai permasalah yang begitu kompleks yang mengancam kecintaan tanah air dan persatuan bangsa. Kepercayaan dan keyakinan akan nila-nilai pancasila yang mampu dijadikan dasar pijakan dan pedoman hidup sudah semestinya dijalankan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam kegiatan pendidikan. Karena walau bagaimanapun, generasi masa depan kita ada ditangan anak-anak bangsa yang pengembangan karakter dan pengetahuannya dibentuk melalui proses pendidikan.

Memahami nilai-nilai Pancasila

Pancasila sebagai dasar filsafat Negara mengandung nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental, serta menyeluruh, di mana  semua aspek kehidupan harus didasarkan pada nilai keTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Notonegoro dalam Kaelan (2004 : 89) menjelaskan bahwa dalam kehidupan terdapat tiga nilai yaitu nilai materiil yang bermakna bahwa segala sesuatu  berguna bagi kehidupan jasmani manusia. Selanjutnya adalah nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna untuk menjalankan aktivitas manusia, dan terakhir adalah nilai kerohanian. Dalam nilai kerohanian ini sendiri terdiri dari beberapa unsur nilai diantaranya nilai kebenaran, nilai keindahan (estetika), nilai kebenaran, serta nilai religious.

Dalam hal ini dijelaskan oleh Notonegoro bahwa nilai-nilai pancasila termasuk dalam kriteria nilai kerohanian, karena dalam sila dan butir-butir pancasila mengandung nilai kebenaran akan adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dilandasi dengan penalaran yang rasional dan budi pekerti atau moral baik sebagai refleksi dari nilai kerohanian tersebut.

Berbicara terkait nilai kerohanian yang terkandung dalam pancasila, yang mana di dalamnya terdapat unsur nilai religiusitas yang tidak dapat dipisahkan dari keterkaitan dengan ajaran agama, terutama agama Islam. Pada dasarnya pancasila merupakan perwujudan dari ajaran agama Islam, karena pada setiap sila mengandung unsur ajaran agama Islam yang tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an. Secara singkat dijelaskan oleh Husnul Khatimah (2020), sebagai berikut :

Sila Pertama : Ketuhana Yang Maha Esa, merupakan perwujudan dari Qs. Al-Ikhlas ayat 1-4 yang menjelaskan tentang ketuhanan (ketauhidan)

Sila Kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan perwujudan dari Qs. Al-Baqarah ayat 177 yang menjelaskan hakekat berbuat baik yang dimulai dari ibadah yang berbentuk ritual hingga ibadah yang bersifat sosial

Sila Ketiga : Persatuan Indonesia, merupakan perwujudan dari Qs.Ali Imran ayat 103 dan 105 yang menjelaskan larangan terhadap perselihinan atau perceraian antar sesama

Sila Keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalm permusyawaratan perwakilan, merupakan pwerwujudan dari Qs.Asy-Syura ayat 38 yang menjelaskan perintah untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan urusan

Sila Kelima : Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, merupakan perwujudan dari Qs. An-Nisa ayat 58 yang menjelaskan perintah untuk menetapkn hukumyang adil

Sebenarnya masih banyak ayat yang berkaitan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Hali ini mengindikasikan bahwa nilai yang terdapat dalam pancasila tidak dapat dipisahkan dari nilai ajaran agama Islam maupun agama lain. Tujuan dari pancasila adalah untuk mempersatukan, mendamaikan, dan memberikan perlindungan serta memberikan hak yang sama bagi seluruh warga negaranya tanpa memandang suku, etnik,agama, bahasa dan keberagaman yang lainnya.

Efikasi dan Penanaman Nilai-nilai Pancasila

Sebelum kita membahas lebih jauh bagaimana membangun kultur efikasi dalam mengamalkan nilai-nilai pancasila, di sini terlebih dulu akan dijelaskan apa yang dimaksud  dengan efikasi. Dikutip dari buku berjudul “Efikasi Diri dan Regulasi Emosi dalam Mengatasi Prokratinasi Akademik” Karya Triyono dan Muh. Ekhsan Rifai, yang menyebutkan beberapa ahli dalam menjelaskan definisi efikasi sesuai dengan pandangan masing-masing, beberapa di antaranya adalah pakar psikolog dari kanada Albert Bandura yang mendefinisikan efikasi sebagai hasil dari proses kognitif yang didalamnya terlibat unsur keputusan, keyakinan, dan pengharapan individu atas kemampuan yang dimilikinya.

Selanjutnya Cain mengartikan efikasi lebih pada keyakinan atas kapasitas diri untuk melakukan suatu tindakan sesuai dengan apa yang diinginkan. Sejalan dengan Cain, Feist mengartikan efikasi sebagai keyakinan atas kemampuan yang dimiliki individu dalam bentuk control terhadap keberfungsian dan kejadian dalam lingkungan. Dalam hal pengamalan pancasila, penulis menarik kesimpulan efikasi disini lebih diartikan sebagai keyakinan individu atas kemampuan yang dimilikinya dalam mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai kontrol dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman.

Pengalaman akan keberhasilan bangsa Indonesia dalam memersatukan rakyatnya yang beragam menjadi salah satu sumber efikasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap keyakinan masyarakat untuk selalu memegang teguh nilai-nilai pancasila. Masyarakat tidak akan mempunyai keyakinan terhadap nilai-nilai kebenaran pancasila jika tidak ada upaya dari pemerintah dan pemangku kepentingan untuk selalu menanamkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Membangun kultur efikasi harus dimulai dengan membangun karakter masyarakat yang berlandaskan dengan nilai-nilai pancasila melalui program pendidikan. Dikutip dari laman mediaindonesia.com indikator untuk mengetahui bahwa seseorang mempunyai karakter pancasila sila diantaranya beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berperilaku baik, berkebinekaan global, gotong royong, mandiri, kritis dan kreatif.

Hal tersebut bisa dijabarkan bahwa untuk membangun kultur efikasi tersebut harus ditanamkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang maha Esa. Sebenarnya jika ditelaah secara mendalam esensi yang terkandung dalam nilai-nilai pancasila tidak lain adalah sebagai bentuk aktualisasi dari ajaran agama. Pada hakekatnya agama mengajarkan umat manusia untuk senantiasa hidup damai, saling kasih, mengarahkan kepada kebaikan serta keadilan.

Dalam membangun sebuah kultur yang dapat dianut serta diterapkan dalam keseharian masyarakat memang tidak mudah, dibutuhkan kerjasama dan sinergitas antara pemerintah, masyarakat, serta instansi pendidikan yang mempunyai peran dan tanggungjawab atas pembentukan karakter generasi bangsa. Pemerintah sendiri telah mengupayakan pembentukan karakter bangsa melalui kegiatan pendidikan. Di Indonesia pendidikan diartikan sebagai pendidikan yang berlandaskan pancasila dan UUD 1945  yang berakar dari nilai-nilai agama, kebudayaan nasional, serta tanggap terhadap tunutan perubahan zaman (UU No 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 2).

Selanjutnya tugas dari lembaga pendidikan adalah mendukung tujuan yang telah dirancang oleh pemerintah dengan menjalankan program pendidikan berdasarkan kurikulum nasional dengan menggunakan sebuah standar kompetensi sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut. Selanjutnya tugas masyarakat adalah mendukung program pemerintah dan lembaga pendidikan dengan menciptakan suasana lingkungan yang kondusif.

Pendidikan karakter merupakan sistem pendidikan dengan menanamkan nilai-nilai karakter terhadap peserta didik pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya yang dimaksud dengan nilai-nilai karakter meliputi pengetahuan,  kesadaran dan kemauan, serta menjalankan nilai-nilai terhadap Yuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,  sesame manusia, lingkungan dan bangsa sehingga menjadi insan kamil (Sri Narwanti, 2013: 14).

Sejalan dengan pernyataan tersebut  T. Ramli dalam Narwanti (2013 : 15) menjelaskan bahwa esensi dari pendidikan karakter adalah  sama dengan pendidikan moral dan akhlak dengan tujuan untuk membentuk kepribadian supaya menjadi manusia yang baik, serta dapat menjalankan peran dan kewajibannya sebagai masyarakat dan warga Negara yang baik pula. Tentunya dalam mengimplementasikan pendidikan karakter harus didasarkan dengan nilai-nilai pancasila.

Dengan demikian, nilai kebenaran yang terkandung dalam pancasila dapat diterima dan dijalankan masyarakat tanpa ada paksaan akan tetapi merupakan capaian dari hasil belajar tanpa perlu ada penekanan. Pada praktiknya, sistem penilaian pendidikan Indonesia menggunakan tiga aspek yaitu aspek kognitif (pengetahuan/integensi), afektif (sikap), serta psikomotrik (keterampilan). Ketiga aspek penilaian tersebut saling berkaitan dan harus ditutaskan oleh peserta didik. Dalam mengembangkan sikap afektif inilah peserta didik dibentuk karakternya untuk menjadi manusia yang religious, berakhlak mulia, mempunyai jiwa sosial yang tinggi, toleran, serta serta mampu mengamalkan nilai-nilai pancasila. Dengan demikian nilai-nilai pancasila akan selalu hidup dan eksis meskipun zaman terus berubah. (*)

Referensi

Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma Offset, 89

Katimah, Husnul. 2020. Penerapan Pancasila Perspektif Islam: Tahdzib Akhlak, VI (2), 83-98

Narwanti, Sri. 2013. Pendidikan Karakter. Cet. Ke 3. Yogyakarta: Familia, 14-15

Ridwan, MK. 2017. Penafsiran Pancasila dalam perspektif Islam : Peta Konsep Integrasi :  Triyono, Ekhsan Rifai, Muh. 2018. Efikasi Diri dan Regulasi Emosi dalam Mengatasi Prokrastinasi Akademik, Sukoharjo: CV Sindunata, 22-23

*) Sri Wahyuni, lahir di Demak, 5 September 1990. Mengenyam pendidikan S1 dan S2 di Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang.

Artikel ini telah dibaca 19 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Menyingkap Makna Perintah Membaca dalam Al-Qur’an

24 Maret 2024 - 11:48 WIB

Garam : “Misi Suci” Yang Sering Terkapitalisasi!

15 Agustus 2023 - 05:03 WIB

Ngaji Tematik : Banyak Pintu Meraih Sukses

8 Mei 2023 - 09:01 WIB

Menunaikan Zakat Hakikat Menjaga Keamanan Dan Ketentraman Negara

10 April 2023 - 05:54 WIB

Ngaji Tematik Ramadhan: Keluarga dan Relasi Sosial 

9 April 2023 - 22:30 WIB

Ngaji Tematik Ramadhan: Challenges and Hopes in Islam 

6 April 2023 - 22:57 WIB

Ilustrasi pentingnya optimisme dalam labirin kehidupan
Trending di Esai