Menu

Mode Gelap
Baznas Jepara Salurkan 400 Paket Sembako untuk Cegah Stunting Cerpen Gus Mus: “Kang Amin” Lakon ‘Sang Naga Samudera’ akan Pentas di Karimunjawa PC ISHARI NU Jepara akan Warnai Festival ‘Todok Telok’ di Karimunjawa dengan Shalawat Romantisnya Hubungan NU dan Ba’alawi di Jepara, Pondasinya Dibangun Keturunan Habib Pengikut Pangeran Diponegoro

Esai · 19 Feb 2016 09:01 WIB ·

Mengadang Broadcast Peteng Ati


 Mengadang Broadcast Peteng Ati Perbesar

Mengadang Broadcast Peteng AtiMengadang Broadcast Peteng Ati
Oleh M Abdullah Badri*

Begitu di-share, paket dakwah otomatis muncul di grup WhatsApp, Broadcast BBM, Channel Telegram, Grup Facebook, hingga Fanpage dan ke bilik-bilik inbox kita. Tanpa pikir panjang pesan itu akan kena siapa, -broadcaster yang sering membaca lompat-lompat,- konten akhirnya dibaca oleh orang-orang yang sebetulnya tidak membutuhkan.
Satu sisi, laku mudah melempar pesan di rezim komunikasi berbasis smartphone ini memudahkan kita untuk, sebutlah, syiar dakwah. Namun di sisi lain pesan tidak berkesan sebagaimana kita mencatat dawuh kiai secara tatap muka. Pesan broadcast dakwah yang sudah jadi viral, bagi saya, tidak selalu dalam sub bab “al ilmu fi al sudur” selama tidak diabadikan “fi al sutur”. Bicara sanad, broadcast jelas tanpa mursyid.
Masih lumrah jika kegelisahan Anda sebatas itu saja. Yang membuat saya menulis esai ini karena di beberapa grup media personal, utamanya WhatsApp, Telegram dan Grup Facebook, ada propaganda terbungkus kalimat tanpa logika. Laku nyebar massage yang hari ini mudah dilakukan tampaknya sesuai dengan hakikat propaganda, yang dalam bahasa Latin diterjemahkan sebagai “mengembangkan atau memekarkan.”
Ironisnya, ada pesan jahat yang ingin membelokkan pembaca dari fakta ke persepsi, menjurus kepada tindakan (mengikuti ajarannya dan membagikan statusnya). Dan, pembaca enjoy saja meyakini kalau sanad konten broadcast pasti sah dan penuh kebenaran. Niat menyebarkan ke sembarang orang “bi niyyatin shalihatin,” padahal “La”.
Saya ambilkan contoh [1]: “Indonesia mayoritas Islam, tapi yang disudutkan muslim/ lebih serem yang pakai cadar, daripada rok mini/ lebih serem yang berjenggot, daripada yang tatoan/ pakai baju tauhid ditangkep, pakai baju PKI gapapa/ lebih mentolelir aliran sesat daripada syariat/ yang majlis ta’lim pekanan, fanatik, yang ke bioskop harian, gaul/ yang hafal 30 juz, militan, yang hafal banyak musik, hebat/ yang anaknya dijilbabin, keterlaluan melangar HAM, yang anaknya pakai rok mini, imutnya/ yang pakai baju koko, sok alim, yang ga pakai baju, jantan/ yang hariannya bicara Islam, sok ustadz, yang hariannya ghibah, up to date/ media islam, radikal, media porno kebutuhan/ dan seterusnya hingga pada kalimat Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing (HR. Muslim No. 208).”
Saya kutip lain lagi [2]: “Kalau mengaku toleran, mengapa ketika ada orang memakai busana menutup aurat meradang? Kalau mengaku toleran, mengapa antipati terhadap dengan orang yang tidak tahlilan? Dengan logika bodoh saja, orang Nasrani, Budha, Hindu Konghucu juga tidak tahlilan. Bukankahkah tahlilan juga bagian dari keberagaman yang selama ini digembar-gemborkan? Lantas mengapa harus membawa-bawa nama Pancasila untuk urusan tahlilan? Siapa yang bodoh dan siapa yang diragukan Pancasilanya?”
Tambah satu lagi biar afdlol [3]: “Daftar Obat: sering sakit = silakan puasa/ wajah gelap = sholat tahajud/ hati sempit = baca al-qur’an/ susah bahagia = sholat tepat waktu/ emosi melulu = wudlu dan istighfar/ gelisah = banyak do’a/ tertekan = baca la haula wala quwwata illa billah/ miskin melulu = bersedekah/ bingung berbuat baik = bagikan status ini pada sahabat, orang terkasih.”
Karena menganggap bingung pembaca, perintah yang datang, bagikanlah! Begitu. Padahal, jika kita mau menyimak, logika perbandingan yang dipakai, payah. Dan fakta sebenarnya, tenggelam karena logika perbandingan yang tersengal ingin mencari legitimasi benar. Dalam broadcast di atas, posisi biner digunakan. Untuk mendapatkan kebenaran, harus dihadapkan dengan musuhnya, yakni kesalahan. Yang yang mengalir begini: [ jika berjenggot benar, tatoan salah/ yang hafal 30 juz benar, yang hafal musik, salah.], [Kalau mengaku toleran, benarkanlah yang menggunakan pakaian menutup aurat/ Kalau mengaku toleran, benarkan yang anti tahlilan].
Membenarkan yang satu, menyalahkan lainnya, itu kerjaan orang banyak alasan dan tidak berdaya membangun. Spirit bangkit dari kesalahan mungkin akan terjadi. Tapi setelah label kebenaran dalam genggaman, orang lain akan mudah disalahkan.
Dalam broadcast tersebut, propaganda bahwa situs porno sebagai kebutuhan adalah kepicikan yang dituduhkan kepada pemerintah. Ingin menyerang PKI, pembuat broadcast memuja pakaian tauhid yang entah bagaimana bentuk busananya. Kok bisanya juga penghafal Alquran disebut militan? Fakta dari mana? Lha wong di ponpes Alquran saya dulu penghafal tidak disebut demikian.
Untuk mendapatkan legitimasi tidak tahlilan dengan menyebut orang di luar Islam saja tidak tahlilan, bagi saya, itu juga propaganda murahan. Dari keberagaman, status itu ingin seragam. Dari kesalahan dan kegelisahan, broadcast di atas ingin memaksakan kehendaknya. Linglung.

Isu Simbol Digunakan

Intinya, broadcast tersebut jika tidak diadang, akan melahirkan logika menyalahkan orang lain. Alasannya simpel, yang digunakan dalil pembenaran selalu bersifat simbolik: cadar, jenggot, baju tauhid, jilbab, baju koko. Pembenarannya menggunakan isu: toleransi dan keberagaman. Namun, perlu dicatat, dalam broadcast itu tidak ada ajakan kontrol diri. Isinya mengajak sholeh tapi tetap hiper-reaktif terhadap liyan. Ngajak adem tapi tetap panas. Itu bisa Anda lihat di sampel pesan kata broadcast yang ketiga. Di sana menyediakan daftar obat spiritual berbasis akhlak namun tidak menyediakan daftar obat hati berbasis kasih dan sayang. Kontrol diri terhadap orang lain digarap, tapi kontrol diri sendiri, sepi.
Biasanya, status seperti di atas menegaskan bahwa Islam akan muncul kembali dalam keadaan terasing. Oleh karena itu, maju terus hiraukan orang yang tidak sepaham, kembalilah kepada Alquran dan Hadits, sebagaimana pemuda-pemuda ISIS edaran video Telegram Kabar Khilafah yang tidak lupa selalu menyebut kembali kepada Alquran dan Hadits.
Jika pesan broadcast itu tidak segera dihentikan, stop share it, maka, generasi-generasi pemilik rezim smartphone ini akan terus digelayuti kebenaran diri sendiri, kesalehan pribadi tapi minus kontrol terhadap diri sendiri dan kasih sayang kepada orang lain. Saya mengamini jika Anda menyebut sumber viral broadcast bukan dari penggandrung Syi’ir Tanpa Waton atau Syi’ir Tamba Ati, tapi dari muqollid wahabi salafi. Mereka tidak akan paham broadcastnya Habib Syekh bin Abdul Qadir yang selalu didengungkan Syekher Mania, ini:
“Papali Ki Ageng Sela Amberkahi/ Aja Gawe Angkuh, Aja Ladak Lan aja Jahil/ Aja Ati Serakah lan aja Celimut/ Aja Buru Aleman, Lan aja Ladak/ Wong Ladak Pan Gelis Mati lan aja Ati Ngiwa.”
Broadcast itu tidak bicara simbol, tapi bicara laku, nata laku, njejekke laku, menghargai diri sendiri dan orang lain. Lebih mengayomi. Lebih menusuk ke relung hati. Membikin panas di hati. Semoga kita tidak tergolong seperti keturunan Dzul Khuwaishiroh, yang menghardik Nabi Muhammad SAW itu. Amin.
(*Penulis adalah alumnus Madrasah TBS Kudus, ketua Mahasiswa Ahlu al Thariqah al Nahdliyyah/Matan Jepara)

Artikel ini telah dibaca 3 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Menyingkap Makna Perintah Membaca dalam Al-Qur’an

24 Maret 2024 - 11:48 WIB

Garam : “Misi Suci” Yang Sering Terkapitalisasi!

15 Agustus 2023 - 05:03 WIB

Ngaji Tematik : Banyak Pintu Meraih Sukses

8 Mei 2023 - 09:01 WIB

Menunaikan Zakat Hakikat Menjaga Keamanan Dan Ketentraman Negara

10 April 2023 - 05:54 WIB

Ngaji Tematik Ramadhan: Keluarga dan Relasi Sosial 

9 April 2023 - 22:30 WIB

Ngaji Tematik Ramadhan: Challenges and Hopes in Islam 

6 April 2023 - 22:57 WIB

Ilustrasi pentingnya optimisme dalam labirin kehidupan
Trending di Esai