Menu

Mode Gelap
Baznas Jepara Salurkan 400 Paket Sembako untuk Cegah Stunting Cerpen Gus Mus: “Kang Amin” Lakon ‘Sang Naga Samudera’ akan Pentas di Karimunjawa PC ISHARI NU Jepara akan Warnai Festival ‘Todok Telok’ di Karimunjawa dengan Shalawat Romantisnya Hubungan NU dan Ba’alawi di Jepara, Pondasinya Dibangun Keturunan Habib Pengikut Pangeran Diponegoro

Opini · 22 Apr 2021 04:39 WIB ·

RA Kartini di Jepara, Padam Ataukah Mati?


 RA Kartini di Jepara, Padam Ataukah Mati? Perbesar

Oleh: Hisyam Zamroni, Wakil Ketua PCNU Jepara

Setiap tahun kita berbahagia merayakan Hari Kartini sebagai sebuah acara seremonial daripada pemaknaan substansial meneladani dan mengikuti semangat Kartini.

Acara perayaan Hari Kartini ada atau pun tidak ada kajian secara akademik di Jepara tetap diadakan acara seremonial Hari Kartini karena secara kultural tanggal 21 April adalah hari keramatnya masyarakat Jepara yaitu serentak seluruh masyarakat Jepara merayakan Hari Kartini. Pertanyaannya adalah sudahkah Jepara memang menjadi Jepara Bumi Kartini?

Seiring langkah dunia mengedapankan pola pendekatan developmentalisme yang salah satunya adalah pengarus-utamaan partisipasi perempuan menjadi bagian penting dalam pembangunan di berbagai negara, perempuan menjelma menjadi subyek sekaligus obyek pembangunan yaitu bagaimana peran perempuan di dalam pembangunan di semua lini harus diikutkan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari relasi apa pun sehingga perempuan menjadi faktor penting baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam pembangunan seperti pemberdayaan peran perempuan di sektor publik baik di lembaga/swasta maupun negara.

Di sisi lain, pendekatan poskolonial menjadi sangat digandrungi dalam mengangkat harkat martabat perempuan di mana selama ini perempuan menjadi makhluk subordinasi dan pinggiran yang hanya berperan pada  sektor domestik bahkan terkekang secara kultural sehingga membutuhkan pemberdayaan secara sistematis dan berkelanjutan dalam rangka mendongkrak peran perempuan ikut serta pada sektor publik dan ikut menjadi penentu kebijakan kebijakan publik seperti peran aktif  perempuan di lembaga lembaga baik swasta maupun negara. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan Perempuan Jepara?

Jepara, sebagai ikon nasional lahirnya emansipasi perempuan nasional bahkan dunia melalui gerak emansipasi Kartini seharusnya memberikan contoh atau pun percontohan di mana peran aktif perempuan boleh jadi seimbang bahkan lebih daripada peran laki-laki di semua sektor yang tidak hanya terjebak makna tekstual mengikuti regulasi yang penting terpenuhi kuota perempuan dalam peran aktifnya di ranah publik.. Ada yang menarik jika kita amati yang terlintas dalam pikiran; mengapa Jepara begitu acuh terhadap kepemimpinan perempuan? Adakah Something Wrong dalam memahami perempuan?

Perjuangan panjang mengikuti jejak dan cita-cita RA. Kartini di Jepara, membutuhkan keseriusan dan keberanian untuk mengubah mindset baik karakter maupun kultural di mana yang harus ditanamkan adalah bahwa Jepara adalah benar-benar Bumi Kartini dengan segala konsekuensinya melalui pendekatan baik developmentalisme maupun poskolonial bahkan shock-cultur dan jika diperlukan menggunakan pendekatan revolusi agar Ke-kartini-an Jepara mewarnai pada sektor sektor publik bahkan jika berani masyarakat Jepara bisa mengusung perempuan menjadi penentu kebijakan utama dan pertama di Jepara.. Pertanyaannya adalah bisakah?

Menjadikan perempuan mempunyai peran lebih di Jepara, jika kita melihat arus budaya patrelenial di Jepara, walaupun banyak orang menganggap danyange Jeporo adalah wedok, membutuhkan keseriusan dan keberanian yang mutlak alias tidak megal-megol dengan mempersiapkan kader-kader perempuan yang mempunyai kapabilitas dan kompetensi yang mumpuni dan tangguh karena harus mampu menerobos sekat-sekat bahkan tembok patrelenial yang masih tertanam pada mindset dan budaya masyarakat, tidak sampai disitu, jika cita-cita itu ingin terwujud, dibutuhkan juga secara internal seorang perempuan bionic dan merdeka yaitu perempuan yang landas lepas mencurahkan membersamai masyarakat, mungkin justru problematika yang terahir ini yang sulit mencarinya?

Sesulit apa pun harus dicoba dan dipersiapkan secara sungguh sungguh dan ditanting  sedari awal sehingga upaya meng-kartini-kan Jepara ora dadekno gelo dikemudian hari sehingga kepercayaan masyarakat yang sudah menggeliat menjadi padam kembali..

Masih banyak PR yang harus kita selesaikan. Yang pasti, meng-kartini-kan Jepara adalah tanggung-jawab kita semua. Selamat hari Kartini 21 April 1879 – 21 April 2021. Dari Jepara untuk Indonesia dan Dunia. (*)

Artikel ini telah dibaca 3 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

The Root of The Peak dalam Konsep Keilmuan

7 Juni 2024 - 11:08 WIB

Akselerasi Khidmah NU dan Keberjamaahan

17 Februari 2023 - 05:47 WIB

Hari Santri Nasional Dan Pembangunan Peradaban

24 Oktober 2022 - 04:21 WIB

Shiddiqiyah : Thoriqoh Yang Mu’tabar (otoritatif) ataukah yang “nrecel” (Keluar Jalur) ?

15 Juli 2022 - 07:58 WIB

Jepara, Investasi Agrobisnis dan Jihad Pertanian NU

30 Mei 2022 - 02:50 WIB

Santri dan Filologi Islam Nusantara

25 April 2022 - 03:21 WIB

Trending di Hujjah Aswaja