Menu

Mode Gelap
Mahasiswa PAI UNISNU ikuti Kuliah Komparasi Aswaja Komunitas Muslim di Negeri Beruang Merah, bareng Dr. Amy dari PCINU Federasi Rusia Tanggap Bencana, PCNU Jepara Gelar Rakor, Jalin Sinergi dengan Pemerintah dan Elemen Lainnya Belajar dari Kasus Gus Miftah : Dakwah Harus Mengutamakan Akhlak Arafani, Mahasiswi UNISNU Sabet Prestasi di Lomba Esai Hari Santri Lakpesdam PWNU Jateng Pengajian Umum Gus Muwafiq, Sedekah Bumi Desa Tanjung Jepara

Esai · 24 Jul 2021 03:17 WIB ·

NU Menebar Aswaja Untuk Kebangsaan


 NU Menebar Aswaja Untuk Kebangsaan Perbesar

Oleh: Aji Setiawan*)

TAK terasa NU sudah hampir 1 abad berdiri. NU didirikan para Ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya, maka gerakan NU adalah gerakan para ulama yang berusaha menjaga, memperbaiki, memberikan pelayanan kepada umat. Gerakan NU tersebut dengan menyebut NU sebagai gerakan memperkuat dan melindungi akidah warga NU dengan cara dan praktik Ahlussunah wal Jama’ah. 

Cara berpikir NU adalah dinamisasi agar NU tidak jumud, statis pada teks-teks saja, tidak statis pada ibarat-ibarat saja, tapi berpikir dinamis dan kontekstual, tapi tidak liberal. Gerakan yang kedua adalah amaliyah, yaitu menghidupkan amaliyah-amaliyah NU. Amaliyah tersebut adalah praktik yang bersumber dari ajaran Ahlussunah wal Jama’ah. NU juga organisasi, bukan kumpulan kematian. Karena itu ada pedoman-pedoman, tempat rujukan kembali; ada Qanun Asasi, AD/ART, keputusan-keputusan yang harus dilaksanakan. 

Istilah Aswaja (Ahlussunnah Waljama’ah – ahl as-sunnah wa al-jama’ah) bagi umat Islam pada umumnya dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah istilah baru. Sekalipun demikian, tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda, bahkan menimbulkan kekeliruan yang cukup fatal. Di sini, paling kurang istilah Aswaja dipahami pada dua pemahaman (verstehen).

Pertama, dalam kaca mata sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan (counter-discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah· di dunia Islam, terutama pada masa Abbasiyah. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abû Hasan al-‘Asy’âri (260 H – + 330 H) di Bashrah dan Abû Manshûr al-Maturidi di Samarkand. Meskipun pada taraf tertentu pemikiran kedua tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya gejala hegemoni paham Muktazilah yang dilancarkan para tokoh Mu’tazilah dan pengikutnya (Prof. DR. Muhammad Abu Zahrah, 1996: 189).

Dari kedua pemikir-ulama ini, selanjutnya lahir kecenderungan baru yang banyak mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal ini menjadi maistream (arus utama) pemikiran-keagamaan di dunia Islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran-keagamaan—sering dinisbatkan pada sebutan ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang kemudian populer disebut Aswaja.

Kedua, istilah Aswaja populer di kalangan umat Islam, terutama didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, umat Nashrani akan terpecah menjadi 72 golongan dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan tersebut masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya”. Dalam pandangan As-Syihâb Al-Khafâjî dalam Nasâm ar-Riyâdh, bahwa satu golongan yang dimaksud (tidak masuk neraka) adalah golongan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Pendapat ini dipertegas oleh Al-Hâsyiah Asy-Syanwâni, bahwa yang dimaksud dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah adalah pengikut Imam kelompok Abûl Hasan Asy’ari dan para ulama madhab (Imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam Maliki dan Imam Hanbali). (Syekh Hasyim Asy’ari, Risâlah Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, 1418: 23).

Pandapat Asy-Syanwâni ini memang cukup beralasan, karena untuk memahami Al-Quran dan sunnah perlu dilakukan penggalian (al-istinbâth) yang mendalam dan sungguh-sungguh (ijtihâd). Sementara untuk melakukan proses istinbâth secara langsung kepada Al-Quran dan sunnah, diperlukan berbagai kualifikasi keilmuan yang mendalam. Atau dengan kata lain, untuk menjadi seorang mujtahid, diperlukan berbagai penguasaan ilmu yang tidak sedikit. Maka, di sinilah relevansi dan kontekstualitas seorang muslim dalam mengikuti metodologi (madzhab manhaji) maupun produk pemikiran (madzhab qauli, natâij al-Ijtihâd) yang telah dikembangkan oleh para ulama madzhab (Baca: KH. A. Muchith Muzadi, TT, 33).

Dengan demikian, istilah Aswaja dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran (pemahaman) dan sekaligus praktek keagamaan (Islam) yang didasarkan pada tradisi (sunnah) Rasulullah, para sahabatnya dan para ulama mazhab, sekalipun yang terakhir ini lebih bersifat sekunder. Dengan lain kata, yang dimaksud dengan Aswaja tidak selalu identik dengan suatu mainstream aliran pemahaman tertentu dalam tradisi pemikiran Islam.

Oleh karena itu, penyebutan beberapa aliran dalam tulisan ini, tidak secara otomatis menunjukkan paham-paham yang paling benar atau paling identik dengan Aswaja. Justru di sini perlu ditegaskan, bahwa yang terpenting dari pemikiran keagamaan Aswaja adalah konsistensinya dengan tradisi keagamaan yang dipraktekkan Rasulullah dan para sahabatnya. Sementara dalam konteks taqlid, di sini lebih bersifat instrumental. Artinya, signifikansi taqlid, baik dari sisi metodologis (madzhab manhaji) maupun produk pemikiran-keagamaannya (madzhab qauli, natâij al-Ijtihâd) lebih dimaksudkan untuk membantu dalam memahami Al-Quran dan sunnah, ketimbang diletakkan sebagai satu-satunya sumber.

Bentuk pemahaman keagamaan Ahlussunnah Waljama’ah yang dikembangkan NU disebutkan secara tegas dalam AD NU Bab II tentang Aqidah/Asas Pasal 3 (Setjen PBNU, 2000: 10), yakni ”Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyah Islamiyyah beraqidah/berasas Islam menurut faham Ahlussunnah Waljama’ah dan menganut salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali”. Untuk bidang tasawuf yang merupakan dasar pengembangan akhlak atau perilaku kehidupan individu dan masyarakat, NU menganut paham yang dikembangkan oleh Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Muhammad ibnu Muhammad Al-Ghazali serta Imam-Imam yang lain (Setjen PBNU: tt., 9).

Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa NU mengembangkan faham Ahlussunnah Waljama’ah yang mencakup tiga hal pokok yang secara garis besar juga merupakan aspek-aspek ajaran Islam, yaitu: (1) akidah; (2); syari’ah atau fikih; dan (3) akhlak.

Akidah merupakan aspek terpenting sekaligus yang melatarbelakangi lahirnya paham Ahlussunnah Waljama’ah dalam dunia Islam. Di lingkungan NU, pemahaman terhadap aspek akidah menggunakan metode Asy’ariah dan Maturidiah. Paham Ahlussunnah Waljama’ah menempatkan nash Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai otoritas utama yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam memahami ajaran Islam. Dalam kaitan ini, akal yang mempunyai potensi untuk membuat penalaran logika, filsafat, dan mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan alat bantu untuk memahami nash tersebut.

Syari’ah atau fikih merupakan aspek keagamaan yang berhubungan dengan kegiatan ibadah (ibâdah) dan mu’amalah (mu’âmalah). Ibadah merupakan tuntutan formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba dalam berhadapan dengan Tuhannya, seperti yang tergabung dalam rukun Islam. Hubungan secara langsung antara hamba dengan Tuhannya ini dalam bahasa Al-Quran disebut habl min Allâh. Adapun mu’amalah merupakan bentuk kegiatan ibadah (penghambaan kepada Allah atau pengamalan ajaran agama) yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya secara horizontal, misalnya jual beli, perilaku pidana-perdata, pembuatan kesepakatan-kesepakatan tertentu, perilaku sosial-politik, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Al-Quran aspek ini disebut dengan habl min an-nâs.

Semua dasar dari syari’ah atau fikih ini ada di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Akan tetapi, menurut paham Ahlussunnah Waljama’ah tidak semua orang akan dapat menerjemahkan dan memahaminya secara langsung. Sebagaimana diketahui, kebanyakan nash Al-Quran maupun Sunnah berbicara tentang pokok dan prinsip-prinsip (ashl, j: ushûl) masalah. Hal ini membutuhkan penjabaran dengan metode pengambilan hukum tertentu, sehingga dapat diperjelas apa saja yang menjadi cabang-cabangnya (far’ j: furû’). Untuk melakukan hal ini diperlukan ijtihad yang tidak semua mampu melakukannya. Itulah sebabnya mengapa dalam paham Ahlussunnah Waljama’ah, mengikuti mazhab tertentu dalam memahami ajaran agama menjadi demikian penting.

Adapun akhlak merupakan kondisi mental-spiritual yang mendorong manusia untuk berperilaku. Akhlak merupakan bentuk kesadaran yang ada dalam setiap individu yang secara aplikatif mendorong manusia untuk berbuat sesuatu. Karena wujudnya sebuah kesadaran, maka nilai suatu perbuatan seseorang pada dasarnya tergantung pada hakekat dorongan mental-spiritual yang ada dalam dirinya. Sebagaimana diketahui, segala perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia dalam perspektif Islam tidak boleh tercampur unsur-unsur lain selain motif untuk mengharap keridlaan Allah. Inilah yang dinamakan ikhlas.

Mengembangkan aspek akhlak dalam koteks Ahlussunnah Waljama’ah berarti upaya untuk membimbing manusia dalam mencapai derajat keikhlasan. Dengan keikhlasan itu, maka perbuatan baik yang dilakukan manusia adalah semata-mata timbul karena kesadaran mental-spiritual yang dimilikinya, bukan karena motif-motif lainnya.

Untuk mencapai hal itu, seseorang memerlukan proses pembiasaan atau pelatihan secara berkesinambungan. Dalam dunia Islam, wacana semacam ini ada dikembangkan oleh para sufi. Paham Ahlussunnah Waljama’ah menempatkan wacana tasawuf (hasil pemikiran dan kebiasaan hidup yang dijalani oleh para sufi) sebagai alat pendukung dalam rangka mendidik dan membimbing aspek esoterik (batiniah) manusia untuk mencapai nilai-nilai ihsân atau sikap mental spiritual yang senantiasa merasakan kehadiran Allah dalam seluruh ruang kehidupan. (HR. Muslim, dikutip dari Muhammad Al-Ghazali, 1990 M/1410 H: 21).

Karena berhubungan dengan pencapaian nilai-nilai ihsan, maka tasawuf menjadi bagian penting dalam pengalaman agama menurut Ahlussunnah Waljama’ah. NU, dalam hal ini mengambil jalan untuk memfokuskan wacana tasawuf yang dikembangkan oleh Abu Hamid Al-Ghazali, Abu Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi, dan imam-imam lainnya yang memadukan antara syari’ah dan tasawuf. Alasan perpaduan kedua unsur inilah yang mendasari pilihan NU terhadap wacana tasawuf yang dikembangkan oleh imam-imam tersebut.

Dengan perkataan lain, apa yang menjadi ruang lingkup dari paham Ahlussunnah Waljama’ah tersebut pada dasarnya merupakan perpaduan antara nilai-nilai iman (imân), islam (islâm), dan ihsan (ihsân). Iman menggambarkan keyakinan, sedangkan islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan islam seseorang. (Endang Turmudzi, dkk, 1998: 21).

Teologi Aswaja

Aliran kalam (teologi) Muktazilah merupakan sebuah aliran yang kental dengan tradisi rasionalismenya (baca: sebuah aliran pemikiran yang menempatkan akal di atas segala-galanya, termasuk nash, red-). Dalam proses penyebarannya, paham Muktazilah kerap diwarnai dengan praktik pemaksaan dan diskriminasi, seperti terlihat pada kasus mihnah. Sehingga, pada gilirannya paham Muktazilah menuai tantangan hebat dari berbagai golongan tradisionalisme Islam: paham yang lebih menonjolkan Al-Quran dan hadis ketimbang akal, terutama yang dilancarkan oleh golongan Hanbaliyah. Setelah Khalifah Al-Makmun wafat pada tahun 833 M, politik kekerasan Muktazilah mulai semakin berkurang. Bahkan, sebagai mazhab resmi negara waktu itu pada tahun 856 M aliran ini dibubarkan oleh Khalifah Al-Mutawakil (Nasution, 1986: 9). Dengan demikian, kaum Muktazilah kembali kepada posisi semula dan menghadapi banyak lawan dari kalangan umat Islam.

Dengan skala yang berbeda-beda, munculnya aliran teologi Asy’ariah di Bagdad, Maturidiyah di Samarkand, Thahawiyah di Mesir dan Bazdawiyah di Bukhara, dianggap sebagai titik kulminasi dari penentangan terhadap aliran yang pernah menjadi anak emas salah satu penguasa Abbasyiah itu. Asy’ari yang pada mulanya merupakan penganut Muktazilah selama puluhan tahun, justru berbalik dan menganggap ajaran Muktazilah sesat dan menyesatkan. Asy’ari akhirnya membentuk ajaran baru yang kemudian terkenal dengan teologi Asy’ariah. Begitu pula Al-Maturidiyah di Samarkand, meski dalam penentangannya terhadap Mu’tazilah memakai bendera Asy’ariah, namun perkembangan selanjutnya, pada batasan tertentu membuktikan bahwa teologi ini menyamai teologi Muktazilah. Sebagai cabang aliran Maturidiyah yang berpusat di Bukhara, Bazdawiyah termasuk bagian dari barisan penentang Muktazilah. Namun, dalam pembahasan para ahli, nampaknya aliran ini tidak banyak mendapat perhatian khusus. Hal itu disebabkan karena mereka menyatukan pemikiran Maturidiyah baik yang berbasis di Samarkand dengan Maturidiyah yang berbasis di Bukhara.                             

Dalam periode antra tahun 320 – 447 H, keluarga Buwaihi dari kota Dalâm dekat Khurasan memperoleh pengakuan kekuasaan dari pusat kekuasaan Islam di Baghdad yang ketika itu dipimpin Khalifah Al-Mustakfi (334 H). Mereka menyokong kelompok Syi’ah dan menghidupkan panji-panjinya serta merendahkan wibawa orang-orang Turki. Hal ini menjadikan kelompok Muktazilah kembali menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Hal itu terjadi karena antara paham Syi’ah dan Muktazilah mempunyai doktrin dalam beberapa hal yang sama, atau memiliki kedekatan.

Pada tahun 1055 M/447 H, Thurghil Bek dari dinasti Saljuk memasuki Baghdad dari negeri Jabal atas permintaan Khalifah Al-Qalm dari Bani Abbas untuk menumpas despotisme (kesewenang-wenangan) Al-Malik Al-Rahim, Amir Al-Umara Bani Buwaihi yang terakhir. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan bani Buwaihi dan bermulalah kekuasaan Bani Saljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat khilafah Abbasiyah. Meskipun kekuasaan telah berganti, Muktazilah tetap jaya. Hal ini terutama karena Muktazilah mendapatkan dukungan dari Perdana Menteri Thughril, Abu Nasr Muhammad Ibn Mnansur Al-Kunduri (416-456 H). Ketika itu, para pemuka aliran Asy’ariyah ditangkap dan dipenjarakan. Sehingga, hal ini menjadikan Al-Juwaini dan pengikutnya melarikan diri ke Hijaz. Ia menetap di Mekah dan Madinah, sehinga membuatnya mendapat julukan Imam Al-Haramain. Lebih dari itu, dinasti tersebut menghidupkan beberapa tradisi Syi’ah, seperti upacara peringatan meninggalnya Husain, menyebut nama khalifah dalam khutbah dan lain-lain.

Sepeninggal Thughril Bek, Dinasti Saljuk diperintah oleh Alp Arselan (455-465 H) dan Malikiyah (465-485 H). Pada kurun ini, orang-orang Sunni mulai memperoleh kesempatan lagi untuk berkembang. Malikiyah ketika itu dibantu oleh perdana menterinya Nizham Al-Mulk. Atas bantuan ini, Malikiyah berhasil memprakarsai pendirian Universitas Nizhamiyah di tahun 1065 M, dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad yang hanya mengajarkan mazhab Asy’ariyah serta bergabungnya beberapa tokoh penting aliran ini di kedua perguruan tinggi itu, seperti Al-Ghazali dan Al-Juwaini.

Sementara itu di Mesir dan Maroko, pengaruh aliran Syi’ah yang dianut oleh Dinasti Fatimiyah (297-567 H) sangat kuat. Sehingga kelompok Sunni memperoleh tekanan berat yang tidak memungkinkannya untuk berkembang. Penguasa Syi’ah mendirikan Universitas Al-‘Atieq (Al-Jamiah Al-Amru) dan Universitas Al-Azhar di Mesir. Di kedua perguruan tinggi tersebut diajarkan fikih Syi’ah yang disusun oleh Ya’qub ibn Kais, Perdana Menteri Aziz Billah Fatimiy. Mereka pun memburu dan menyiksa orang-orang Sunni yang memiliki dan mempelajari buku Al-Muwatha’ yang dikarang oleh Imam Malik dan memamerkannya keliling kota Kairo. Supremasi Daulat Fatimiyah di Mesir akhirnya dijatuhkan oleh Dinasti Shalahuddin Al-Ayubi di tahun 1174 M. Dengan datangnya dinasti ini, aliran Sunni kemudian masuk kembali ke Mesir. Aliran Syi’ah di sana hilang bersama dengan tumbangnya Dinasti Fatimiyah. Shalahuddin dikenal dalam sejarah sebagai sultan yang banyak membela Islam, terutama pada saat pecahnya perang salib.

Sementara di Andalusia dan Maroko (Afrika Utara), aliran Sunni dikembangkan oleh seorang ulama yang banyak dipengaruhi pemikiran Al-Ghazali, yaitu Muhamad Ibn Tumart (1080-1130 M). Setelah ia menghancurkan Dinasti Al-Murâbithun (1085-1090 M) yang menganut paham antromorfhisme, kemudian Ibn Tumart mendirikan Dinasti Al-Muwahhidin (1130-1269 M). Di wilayah Timur, paham Asy’ariyah turut dikembangkan oleh raja-raja Afghan yang pernah menguasai Persia, yaitu Dinasti Qanjar (1386-1925 M). Selain itu, Mahmud Al-Ghaznawi dari Dinasti Ghaznawiyah (962-1189 M) yang berpusat di Afghanistan (Khurasan), juga berjasa dalam menyebarkan paham Asy’ariyah ke beberapa wilayah di sekitarnya, seperti Punjab dan Irak.

Sejarah umat Islam mencatat, bahwa aliran Asy’ariyah mempunyai masa kejayaan terlama dan berlangsung hingga sekarang. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Dr. Harun Nasution, faktor yang terpenting adalah kebiasaan rakyat mengikuti mazhab yang dipakai dinasti penguasa. Dengan kata lain, paham ini mendapat dukungan penuh dari penguasa. Di satu pihak, pemerintah mempunyai andil dalam pengembangan aliran ini terutama untuk memenuhi watak dan keadaan masyarakat. Sementara di lain pihak, untuk menghimpun kesetiaan rakyat, penguasa menggunakan doktrin Asy’ariyah yang berkecenderungan Jabariyah (fatalistik), sehingga daya kritis umat terhadap penguasa—dalam hal kebijakan dan prilaku rezim—kurang tajam, bahkan cenderung memberikan kelonggaran dan toleransi terhadap penguasa. Faktor pendukung lainya adalah disejajarkannya aliran teologi Asy’ariyah dengan mazhab fikih Syafi’i. Hal ini mejadikan aliran teologi Asy’ariyah identik dengan Aswaja, sehingga wibawa para ulama Syafi’iyyah ikut menjadi daya tarik tersendri, terutama pada masyarakat tradisional.

Penyetaraan aspek doktrin teologi Asy’ariyah dengan fikih Syafi’iyah sangat dimungkinkan karena, dalam merekonstruksi sebuah paham, keduanya sama-sama berlandaskan pada pendekatan salafi, yaitu menggunakan hadis dan mengintrodusir dalil-dalil syar’i dari sumber-sumber selain Al-Quran dan sunnah Rasul, berupa Ijma’ al-Ulamâ, al-qiyâs dan sebagainya. Bahkan, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa mazhab ini mereka peroleh dari Rasulullah. Sehingga menyepelekan ajaran-ajaran yang dibawanya menyebabkan seseorang termasuk kategori ahli bidah.

Dalam rentang waktu yang cukup panjang, corak pemikiran sebagian besar kaum Asy’ariyah diwarnai oleh pemikiran Ghazali yang memang berjasa besar dalam menyebarluaskan teologi ini melalui sejumlah pemikiran yang tersebar dalam berbagai karyanya di bidang fikih, tasawuf, dan ilmu kalam. Ghazali lahir dari produk sejarah abad ke-11 yang ditandai oleh kebingungan spiritual dan kekacauan politik pada masa imperium Abbasiyah. Medan intelektual-spiritual selama abad ke-11 berlangsung pula perdebatan yang sengit antara filosof dan teolog dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama.

Ghazali adalah figur teolog yang juga seorang sufi, di samping menguasai berbagai ilmu lainnya. Dalam pergumulannya itu, kemudian ia mengambil keputusan untuk menentukan posisi piihannya dengan sikap yang mantap. Ia menempuh jalan sufi sebagai pondasi teologisnya, di samping berhasil memadukan prinsip-prinsip filsafat dan mistis dalam sistem teologinya. Pemikiran teologis Ghazali ini banyak mendapat sorotan dari pemikir-pemikir Islam kontemporer. Di antara sorotan yang paling tajam adalah, Ghazali dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kemunduran intelektualisme Islam di kalangan umat dewasa ini, terutama yang menggejala di kalangan Muslim Sunni. Bahkan, Sayed Ameer Ali melihat, bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam dewasa ini disebabkan oleh formalisme Asy’ariyah dan praktek-praktek sufistik yang cenderung menjauhi pergumulan duniawi.

Secara metodologis, paham Asy’ariyah memilih jalan tengah antara berbagai ekstrimitas. Dalam menjelaskan doktrin-doktinnya, paham ini menggunakan metodologi logika Aristotelian (baca: silogisme). Sekalipun demikian, penggunaan logika Aristotelian diletakkan sebatas metode atau cara (instrumental), bukan materi kebenaran itu sendiri yang diterapkan pada segala objek. Sebab, kebenaran hanya dapat ditemukan melalui pendekatan terhadap Al-Quran dan hadits. Sementara pada sisi yang berbeda, banyak yang menuding konsep al-kasb Asy’ariyah telah membawa pengikutnya kepada sikap fatalistik (jabariy), walaupun pada hakikatnya doktrin ini tidak sepenuhnya menjadikan pengikutnya pasif. (*)

*) Aji Setiawan lahir pada Hari Minggu Wage, 1 Oktober 1978. Dilahirkan tepatnya di Desa Cipawon, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan formal diawali dari sekolah di Madrasah Ibtidaiyah II Cipawon di desa Cipawon, kemudian dilanjutkan ke SMP I Bukateja. Pendidikannya berlanjut ke Kota Kripik tepatnya sejak 1993-1996 di SMA 3 Purwokerto. Tahun 1996 hijrah Yogyakarta dan mengambil pendidikan di Jurusan Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Pengalaman Kerja : Reporter Jogja Pos tahun 1999, Redaksi Pelaksana Majalah alKisah, Staff ahli FPPP DPRD II Purbalingga dan menulis di berbagai media online.

Artikel ini telah dibaca 54 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Menyingkap Makna Perintah Membaca dalam Al-Qur’an

24 Maret 2024 - 11:48 WIB

Garam : “Misi Suci” Yang Sering Terkapitalisasi!

15 Agustus 2023 - 05:03 WIB

Ngaji Tematik : Banyak Pintu Meraih Sukses

8 Mei 2023 - 09:01 WIB

Menunaikan Zakat Hakikat Menjaga Keamanan Dan Ketentraman Negara

10 April 2023 - 05:54 WIB

Ngaji Tematik Ramadhan: Keluarga dan Relasi Sosial 

9 April 2023 - 22:30 WIB

Ngaji Tematik Ramadhan: Challenges and Hopes in Islam 

6 April 2023 - 22:57 WIB

Ilustrasi pentingnya optimisme dalam labirin kehidupan
Trending di Esai