nujepara.or.id- Bangsa Belanda dikenal mempunyai siasat yang cukup jitu bahkan dapat dikatakan licik untuk memadamkan suatu pemberontakan di daerah jajahannya.
Tak terhitung berapa banyak perlawanan-perlawanan yang berhasil dipadamkan dengan siasat licik Belanda. Sering kali, kekuatan umat Islamlah yang sering menjadi penghalang bagi Belanda.
Perang Jawa yang hampir membuat Belanda bangkrut berhasil diredam dan berakhir dengan pengasingan Pangeran Diponegoro. Tercerai berainya raja-raja di Nusantara, pemberontakan kaum Paderi, hingga perang terlama melawan rakyat Aceh pun berhasil dipadamkan.
Salah satu tokoh Belanda yang berhasil mengatasi perlawanan umat Islam, terutama pada perang Aceh adalah Christian Snouck Hurgronje. Seorang profesor studi Islam dari Universitas Leiden untuk mengadakan studi menyeluruh tentang negeri dan orang Aceh.
Sampai akhir abad 19, Belanda telah memiliki banyak pengalaman terhadap wilayah Nusantara dan hampir semuanya memberikan kenangan perlawanan yang digerakan di tiap daerah.
Sejak menginjakkan kaki di Nusantara pada abad 16, Islam selalu menjadi penghalang dalam mencapai keinginan pemerintah Belanda untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara, bahkan hingga menginjak abad 19.
Seperti telah disebutkan, salah satu perang yang paling lama dilakukan Belanda melawan umat Islam adalah di Aceh. Perang Aceh (1873-1917) banyak menguras perbendaharaan pemerintah kolonial dan memunculkan berbagai kritik atas perang tersebut, seperti dilansir dari Good News From Indonesia.
“Mereka pun sadar ada yang salah dalam kebijakan pemerintah Hindia Belanda dan menjadi jelas pula bahwa kesalahan yang dilakukan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan tentang negeri yang akan ditaklukan oleh mereka,” jelas Benhard H.M Vlekke dalam Nusantara Sejarah Indonesia.
Vlekke menyebut pemerintah Belanda telah lalai dengan tidak meminta nasehat profesional sebelum memulai perang. Terutama para ahli yang paham tentang urusan Islam, khususnya di Indonesia.
Seperti Snouck Horgronje yang sejak di perguruan tinggi telah memperhatikan perang Aceh yang dilaksanakan oleh pemerintah Belanda, dan menyadari adanya kekeliruan politik Aceh yang dilakukan oleh pemerintah Belanda.
Pemikiran Islam Snouck Horgronje
Snouck pergi ke Mekah untuk mempelajari Islam. Dirinya kemudian memeluk agama Islam pada tahun 1885 dan mengganti namanya menjadi Abdul Gaffar.
Selama di Mekah, Snouck mendapat kesempatan untuk bertemu jemaah haji asal Indonesia. MH Gayo dalam Perang Gayo Alas Melawan Kolonialisme Belanda menyebut Snouck meminta keterangan tentang perang yang ada di Aceh. Jemaah haji asal Indonesia pun menceritakan secara jelas karena kepercayaan terhadap sosok Abdul Gaffar ini.
Pada tahun 1889, dirinya dikirim ke Hindia Belanda untuk menjadi peneliti pendidikan Islam di Buitenzorg (Bogor) dan Guru Besar Bahasa Arab di Batavia. Tahun 1890. Snouck menikahi putri bangsawan pribumi asal Ciamis.
Gubernur van Teijn yang kala itu menjadi Gubernur Belanda di Aceh menawarkan kepada Snouck untuk mempelajari posisi ulama di Aceh. Pada tahun 1891, Snouck telah diangkat menjadi penasihat resmi pemerintah Belanda untuk urusan kolonial.
Pada 23 Mei 1892, Snouck menulis sebuah laporan kepada pemerintah Belanda yang diberi judul De Atjehers. Laporan tersebut berisi temuannya selama “menyamar” dan beberapa cara untuk menaklukkan Aceh.
Dirinya mengupas secara komprehensif nilai-nilai yang terkandung di dalam kehidupan rakyat Aceh. Dirinya memang sengaja dikirim ke Aceh untuk mempelajari gerakan politik rakyat di tanah Serambi Mekkah itu
Snouck menyusun laporan intelijen dengan satu poin penting: Perlawanan di Aceh tidak benar-benar dipimpin oleh Sultan, seperti yang dipikirkan Belanda selama ini, namun oleh ulama-ulama Islam.
Dia mengatakan tidak mungkin bernegosiasi dengan para ulama. Ideologi Islam yang menentang penjajah telah tertanam kuat dalam pemikiran mereka. Maka yang dianjurkannya kepada Belanda adalah menggunakan cara-cara kekerasan.
“Pada akhirnya Snouck menekankan bahwa tidak ada satupun yang dapat meredakan perlawanan yang fanatik dari kaum ulama. Jadi mereka harus ditumpas habis dan pemerintah Belanda harus mengandalkan dan bekerjasama dengan Uleebalang (yang dilihat sebagai pimpinan adat sekuler) agar mampu meruntuhkan dan menguasai Aceh,” jelas M C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern.
Menurut Snouck kekerasan terhadap ulama akan sangat ampuh membungkam mereka dari menyampaikan ajaran-ajaran soal jihad, negara Islam dan konsep politik Islam. Kedepannya mereka hanya diijinkan bicara soal hari akhir dan ritual ibadah.
Awalnya sarannya itu diabaikan oleh pemerintah Belanda. Penyerangan tetap dipusatkan pada Sultan. Namun sampai tahun 1896, Aceh belum bisa ditaklukkan. Belanda akhirnya memilih mengubah taktik.
Belanda kemudian mengangkat jenderal Joannes Benedictus van Heutsz sebagai gubernur Hindia Belanda. Dirinya kemudian menunjuk Snouck menjadi penasehatnya. Dengan posisi itu, Snouck berhak menasihati pasukan tentara dan ikut ekspedisi militer.
Pada saat itulah Snouck menjalankan misinya dengan bergabung dalam operasi militer selama 33 bulan di Aceh. Dalam momen ini Snouck memanfaatkan jabatannya dengan memimpin suatu dinas intelijen.
“Hasilnya dalam tugasnya itu, Snouck dapat menawan 100 orang barisan perlawanan pada 5 September 1896 di Bouronce, Pantai Utara Aceh,” tulis K Subroto dalam Strategi Snouck Mengalahkan Jihad Nusantara.
Namun di sisi lain, Belanda malah membuka kesempatan bagi bangsawan Aceh dan anak-anaknya untuk masuk dalam korps pamong praja pemerintah kolonial. Kebijakan ini dikenal dengan nama Politik Asosiasi.
Belanda juga melakukan kerjasama dengan para Uleebalang yang takut kehilangan kedudukan dan menganggap bahwa Islam akan menguasai dan membuat adat istiadat di Aceh luntur.
Akhirnya sekitar tahun 1903, dibentuklah kerjasama tersebut, hal ini membuat Aceh terpaksa terbagi menjadi dua pihak, yakni pihak yang dipimpin ulama dan pihak yang dipimpin oleh Uleebalang. Akibat hal ini Aceh akhirnya jatuh ke tangan pemerintah kolonial Belanda.
Itulah sejarah panjang Snouck Hurgronje alias Abdul Gaffar dan peristiwa padamnya Perang Aceh. (UA)