Menu

Mode Gelap
Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat (25) NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 )

Headline · 31 Mar 2024 11:11 WIB ·

Cinta Tanah Air Perspektif Maqashid Syariah


 Cinta Tanah Air Perspektif Maqashid Syariah Perbesar

nujepara.or.id – Kita tahu pada 14 September 1945, Rais Akbar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad: “Bahwa membela Tanah Air melawan penjajah hukumnya fardlu ain (Wajib bagi setiap warga negara). Dan umat Islam yang meninggal dalam perjuangan tersebut adalah mati syahid”. Fatwa jihad tersebut, diikuti Nahdlatul Ulama dengan mengeluarkan Resolusi Jihad di Surabaya pada 22 Oktober 1945 dan di Purwokerto 29 Maret 1946.

Kita semua tau, bahwa hari santri Nasional ditandai berawal dari peristiwa fatwa Mbah Hasyim Asy’ari, yang berbunyi: ”Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardlu ’ain yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak Iingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardhu kifayah (jang cukup, kalau dikerjakan sebagian saja). . .”
Menganalisis fatwa KH Hasyim Asy’ari tersebut, beberapa hal menarik untuk dikaji dan paparkan, di antaranya adalah:

Pertama, Fatwa tersebut berbunyi “Membela tanah adalah bagian dari iman, fardu Ain (Wajib bagi setiap warga negara) untuk membela Tanah Airnya”.

Kedua, Bahkan lebih tegas lagi, Kiai Hasyim Asy’ari menyatakan: “Dan barang siapa yang gugur dalam melawan penjajah, adalah mati syahid”.
Di konteks ini, kita perlu menegaskan dan menganalisis dalam perspektif Maqashid Syari’ah. Kenapa mbah Kiai Hasyim Asy’ari, menyatakan cinta tanah air adalah bagian dari iman?

Padahal, tidak ada satupun ayat Al-Quran, tidak ada satu pun hadits Nabi yang menyatakan hal itu? Termasuk tidak ada satu pun pendapat ulama mazhab atau ulama modern yang mengatakan hal itu!?

Saya berpendapat, hal tersebut bukti bahwa KH Hasyim Asy’ari adalah sangat mumpuni dalam bidang ilmu Maqashid Syari’ah, dan tidak diragukan lagi, pendiri NU dalam mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad adalah karena beliau berlandasan analisis Ilmu Maqashid Syariah”.

Dalam pokok Maqashidus syariah. Berupa dhoruriyatul khoms (Lima hal yang wajib di pertahankan)

Dalam kitab-kitab Maqashid Syariah, semua ulama spesialis Maqashid Syari’ah, mulai ulama terdahulu seperti bapak Maqashid Syari’ah Imam Syatiby dalam kitabnya al-Muwafaqoth, yang merupakan babon ilmu maqashid Syari’ah,

Juga Imam al-Juwaeni, hingga ulama maqashid syari’ah modern terkemuka sekelas Syeikh Ahmad Ar-Risouni, -beliau yang memberi judul disertasi doktor saya-, dalam berbagai buku maqashid syari’ah modern karyanya, di antaranya dalam kitab yang asalnya disertasi doktor beliau, berjudul: “Nadhariyah Al-Maqashid ‘Inda Imam Asy-Syatiby”.

Semuanya para ahli maqashid terkemuka berpendapat, hifdhun nafs (Menjaga Jiwa), Hifdhu ‘Aql (Menjaga ketenangan akal), Hifduddin (Menjaga agama) dan Hifdunnasab (Menjaga Nasab), dan hifdhul mal (Menjaga Harta). Lima hal tersebut wajib dijaga hingga titik darah penghabisan.

Kita semua mafhum, sedangkan para penjajah, kala itu nyata-nyata melanggar, lima hal pokok tersebut, nyata-nyata oleh para penjajah jelas-jelas diporak-porandakan semua norma syariat Islam tersebut.

Pertama: Mereka membunuh ribuan penduduk Indonesia yang tidak bersalah, jelas penjajah melanggar unsur hifdhun nafs (Hak menjaga Jiwa)

Kedua: Menganggu ketenangan otak pikiran penduduk Indonesia, jelas melanggar asas Hifdhu Aql (Hak menjaga ketenangan akal)

Ketiga: Mereka juga melakukan kristenisasi, jelas melanggar asas Hifdud din (Hak menjaga agama)

Keempat: Mereka para penjajah memperkosa para gadis-gadis Indonesia. Jelas melanggar asas Hifdun nasab (Hak menjaga nasab)

Kelima: Merampok kekayaan negara Indonesia. Jelas melanggar asas hifdhul mal (Hak menjaga harta)

Jelaslah, dosa-dosa besar tersebut semua dilakukan, dan bahwasanya para penjajah nyata-nyata, melanggar totalitas asas maqashid syari’ah. Maka, tinjauan maqashid syari’ah, atas landasan faktor tersebut, wajarlah bila Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ary menyatakan:

“Cinta tanah Air bagian dari iman, wajib bagi setiap warga negara Indonesia melawan penjajah, dan barang siapa gugur melawan penjajahan adalah mati syahid”.

Maqashid Syariah Tertinggi di Mata KH Hasyim Asyari

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama Maqashid Syari’ah, tentang urutan pertama dari Dhoruriyyah al-Khoms (Lima hal pokok kemaslahat syariat yang wajib dipertahankan) ada yang mendahulukan hifdud din (Hak menjaga agama) adalah urutan nomer satu. Di atas 4 dhoruriyyah empat lainnya di atas tadi.

Tetapi, dalam fatwa Resolusi Jihad, juga jelas prinsip KH Hasyim Asy’ari. Jelaslah Mbah Kiai Hasyim Asy-ari mendahulukan Hifdunnafs (Hak menjaga jiwa) pada posisi pertama, dan tidak mendahulukan hifduddin (Hak menjaga agama).

Dalam fatwa Resolusi Jihad, Mbah Hasyim Asy’ari mengalahkan dua maslahat sekaligus, yaitu maslahat Hifduddin (menjaga agama) dan hifdul aql (menjaga akal) mendahulukan maslahat hifdunnafs (Hak menjaga jiwa). Tepatnya dua hal yang sedang dijalani oleh para santri mencari ilmu di pesantren. -Buktinya, kala itu KH Hasyim Asy’ari memerintahkan para santri se-Indonesia, untuk sementara meninggalkan belajar mengaji di pesantren -sekali lagi, yang merupakan dari hifdul aql (Hak menjaga aqal) dan sekaligus hifduddin (Hak menjaga agama)-, tetapi Mbah Hasyim Asy’ari memerintah para santri sementara meninggalkan belajar mengaji, mendahulukan keluar dari pesantren, turun medan peperangan.

Bagi Kiai Hasyim Asy’ari, karena melawan penjajah adalah bagian terpentingnya, yaitu hifdunn nafs (Hak menjaga jiwa). Tampak jelas, Kiai Hasyim Asy’ari mendahulukan maqashid hifdunafs (Hak menjaga jiwa) pada urutan tertinggi atau pertama, di atas maslahat lainnya.

Hal itu, juga sesuai dalam disertasi doktor saya, berjudul “al-fikrul al-Maqashidy Wa atsaruhu Fi fatawa al-Majami’ al-Fiqhiyyah Al-Mu’asyiroh”(Universitas al-Qurawiyin 2017).

Sebagai mana data kitab-kitab kuning, fikih klasik yang diajarkan di pesantren-pesantren, mencontohkan: “Orang yang sedang solat di pinggir sungai, tiba-tiba melihat orang yang tenggelam, maka saat itu wajib membatalkan solatnya, wajib menolong untuk menyelamatkan nyawa orang yang tenggelam tersebut”.

Nah, kita mafhum, padahal hukum asal dalam perspekti fikih, adalah haram dengan sengaja membatalkan shalat. Tetapi dalam kondisi seperti itu justeru wajib membatalkan shalatnya. Melakukan shalat ada maslahat Hifduddin (Menjaga Agama) Tetapi menolong nyawa yang terancam adalah Hidun nafs (Hak menjaga jiwa) harus didahulukan, maka kondisi tersebut, seseoarang wajib membatalkan shalatnya.

Jadi, saya berpendapat, jelaslah bahwa Mbah Kiai Asy’ary adalah Bapak Maqashid Syariah Indonesia Pertama.

Mencari Ilmu bagian dari Iman

Jika, Mbah Kiyai Hasyim Asy’ari menyatakan Cinta Tanah Air adalah bagian dari iman. Di forum ini, juga saya berani menegaskan “Mencari ilmu di era ini, adalah bagian dari iman”. Meski hal itu tidak ada dalam ayat Al-Quran, atau Hadits Nabi.
Jika dulu jihad generasi muda, khususnya para santri pesantren, adalah di medan perang melawan penjajah. Maka jihad generasi abad ini, para santri tidak lagi dituntut turun medan peperangan angkat senjata, maka bersungguh–sungguh dalam mencari ilmu adalah jihad terbesar para santri, abad ini.

Siapa Komunitas Santri?

Ada arsip artikel saya berjudul: Peta Kemajemukan Santri (Koran Duta Masyarakat: 2004) Yang membagi komunitas santri menjadi dua. Pertama : Santri Profesi
Santri profesi adalah sebuah gelar, bagi santri yang profesinya belajar dan bernaung menimba ilmu di pondok pesantren, 24 jam berada di pondok pesantren, 24 jam belajar ilmu agama di pondok pesantren, dan 24 jam dibimbing oleh kiyai di pondok pesantren.

Kedua: Santri Kultural. Santri kultural, mereka yang tidak pernah belajar di pondok pesantren, mereka yang tidak pernah menuntut ilmu di pondok pesantren, tetapi dalam kehidupan sehari-hari akhlaknya seperti akhlak santri, ibadahnya seperti ibadah santri, dan keluarganya rajin beribadah dan berakhlak santri. Sehingga sering disebut, si “fulan” keluarganya adalah keluarga santri, meski tidak pernah menempuh pendidikan di pondok pesantren.

Empat Unsur Fatwa Resolusi Jihad

Setidaknya ada empat unsur pokok pendorong yang melahirkan fatwa Resolusi Jihad.

Pertama: Adanya ancaman keamanan dan stabilitas negara yang nyata-nyata mengancam. Kedua : Adanya komunitas para kiyai.  Ketiga: Adanya komunitas pesantren. Keempat: Adanya komunitas santri. Jika tidak adanya empat unsur tersebut, maka tentu tidak akan terwujud fatwa resolusi Jihad.

Fungsi Memperingati Hari Santri
Adapun esensi memperingati hari santri nasional, ada tiga poin terpenting yang perlu diketahui, yaitu:

Pertama, ekpresi bersyukur kepada Allah SWT, atas nikmat kemerdekaan.

Kedua, mengenang perjuangan para santri, dan para kiyai,

Ketiga, membangkitkan kembali semangat juang generasi muda, dengan sebab memperingati hari santri, sarana mengenang perjuangan para pendahulu.

*) Materi disampaikan di Pare-pare, dihadiri DR Guruta Hannani, M. Ag (Rektor IAIN Parepare yang juga menjadi Ketua PCNU Parepare Sulawesi Selatan).

Oleh: DR KH Nasrulloh Afandi, Lc, MA*
Doktor Maqashid Syari’ah Summa Cum Laude Universitas al-Qurawiyin Maroko, Ketua PP PERGUNU, Pengasuh Pondok Pesantren Balekambang Jepara, Jateng.

Artikel ini telah dibaca 38 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Kartini dan Pergeseran Fashion Perempuan

23 April 2024 - 13:58 WIB

Kritis, Kelahiran Anak Muslim Indonesia Melambat

5 April 2024 - 16:10 WIB

Memaknai Mudik: Sebagai Tradisi dan Ajaran Silaturahmi

5 April 2024 - 12:54 WIB

Tidak Pandang Suku, Agama dan Ras, NUPB Jepara Siap Bantu Korban Bencana

31 Maret 2024 - 21:57 WIB

Akulturasi Budaya Islam-Jawa Lewat Pujian Ba’da Tarawih

30 Maret 2024 - 01:51 WIB

Menyingkap Makna Perintah Membaca dalam Al-Qur’an

24 Maret 2024 - 11:48 WIB

Trending di Esai