nujepara.or.id- Pakar Maqashid Syariah Indonesia DR KH Nasrulloh Afandi, Lc, MA menegaskan bahwa di era modern ini, melalui medsos, marak orang-orang yang mengklaim dan mendeklarasikan dirinya sebagai penceramah dan juru dakwah Islam. Namun faktanya justru sebaliknya. Mereka justru orang-orang yang masuk kategori wajib diceramahi dan dinasehati.
Hal ini disampaikan Gus Nasrul saat acara malam memperingati Nuzulul Qur’an yang diadakan di Masjid Agung Baitul Makmur, Kabupaten Jepara, Jateng (16/3/2025).
Gus Nasrul mengutip Kitab Qomi at-Thugyan al madhumah Syuabil iman, Imam an-Nawawi menegaskan, bahwa cabangan Imam yang ke 17, itu adalah menekankan kewajiban mencari Ilmu agama. Sedangkan cabangan yang ke-18, adalah menyebarkan ilmu, jadi juru dakwah, pidato, di era modern bikin konten tausiyah dan sejenisnya.
Menurutnya yang memprihatinkan adalah saat ini marak orang-orang yang mengabaikan cabangan iman ke-17 itu. Mereka tidak pernah serius belajar ilmu agama di pesantren, tidak faham ilmu agama secara mendalam, namun berlomba-lomba jadi penceramah.
“Hanya modal keahlian wicara dan over pencitraan di medsos mereka bicara seakan-akan ahli agama. Ini sungguh memprihatinkan,” tegas Wakil Ketua Komisi Kerukunan Antarumat Beragama MUI Pusat itu.
Fenomena ini disinyalir terjadi seiring munculnya sarjana komunikasi atau ahli orasi budaya, aktivis demonstrasi dan lainnya yang tiba-tiba mengorbitkan dirinya jadi juru dakwah dan penceramah agama. Untuk meyakinkan publik mereka menyematkan gelar ustaz dan ustazah.
Ada juga orang ahli kisah pewayangan Islam, atau kisah-kisah Walisongo, dengan over percaya diri mendeklarasikan dirinya di medsos dengan gelar kiai atau gus meski bukan putra kiai.
Bahkan kerap melakukan berbagai kebohongan publik, demi mencitrakan diri sebagai ahli agama, ngaku-ngaku dekat dengan para kiai, mengaku-ngaku lulusan pesantren besar tertentu. Ada juga para dosen bukan jurusan agama, namun ikut berpartisipasi jadi tokoh atau penceramah agama dadakan.
Orang-orang semacam itu, tutur Gus Nasrul, sejatinya bukan juru dakwah lantaran mereka orang-orang yang kekurangan ilmu agama.
“Sehingga mereka wajib diceramahi, wajib didakwahi,” tutur Ketua Pusat Persatuan Guru NU(PERGUNU) itu.
Gus Nasrul pun mengutip pendapat Imam Ghozali, terkait tipe-tipe manusia di dunia. Ada rojulun laa yadri, wa laa yadri, annahu laa yadri (Seseorang yang tidak tahu/tidak berilmu, dan dia tidak menyadari bahwa dirinya tidak berilmu).
Orang tipe itu merasa paling berilmu dan bahkan merasa dirinya tokoh agama panutan. Menurut Gus Nasrul orang tipe ini hendaknya dijauhi.
“Karena mereka selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa, hanya modal koneksi internet dan google”, kelakar gus Nasrul.
“Dan orang-orang semacam itu, adalah dhollun mudhillun (tersesat dan menyesatkan),” tutur pengasuh pesantren Balekambang Jepara Jateng itu.
Sedangkan dalam konteks evaluasi ibadah bulan suci Ramadhan, Gus Nasrul menjabarkan tentang keimanan dan ketakwaan. Ia mengutip pendapat Imam Thohir Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya at-tahrir wa at-Tanwir, suksesnya orang beriman, itu, jika bulan Ramadhan selesai, ia tidak berhenti atau tak berkurang kualitas ibadahnya.
Doktor Maqashid Syariah Universitas al-Qurawiyin Maroko mencontohkan jika selepas bulan Ramadhan masih tetap, rajin solat tahajud, rajin membaca al-Quran, rajin bersedekah dan berbagai amal ibadah dan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda-tanda orang yang sukses menggembleng dirinya selama bulan Romadhon.
“Mereka tetap menjadi orang bertakwa, ahli ibadah, minimal hingga datangnya Ramadhan tahun depan. Itulah bukti keimanan dan ketakawaan yang sukses dipupuk selama bulan Ramadhan. ,” tandas alumnus pesantren Lirboyo Kediri dan Pesantren Sarang Rembang itu. (*)