Bai’at: Suasana Pelantikan JQH NU Kecamatan Nalumsari Jepara
JEPARA- Ada kegelisahan atas kenyataan di depan mata, orang lebih suka tontonan daripada tuntunan. Di Jepara, banyak yang rela iuran ramai-ramai menghadirkan tontonan norak yang mengundang maksiat semisal orkesan daripada semaan Al-Qur’an. Di lingkungan nahdliyyin Jepara, hal itu lumrah terjadi. Ada yang lebih menghargai biduan daripada Al-Qur’an.
Tantangan itulah yang diungkapan Ulin Nuha, Sekretaris Jamiyyah Qurro wal Hifadz (JQH) NU Jepara di sela acara pembentukan dan pengukuhan pengurus JQH Kecamatan Nalumsari, Jepara (Rabu, 2 Maret 2016), bertempat di Gedung Lantai II Mts Ismailiyyah, Nalumsari.
“Kami berusahan untuk menggerakkan para ahli Al-Qur’an sesuai bidangnya agar yang selama ini masih berjalan sendiri-sendiri di MWC dan sebagian di ranting bisa berjalan bersama untuk Jepara yang mulia dengan Al-Qur’an,” kata Ulin.
Bagi Ulin Nuha, mengubah ketertarikan masyarakat itu memang perjuangan berat. Apalagi kalangan sendiri. Sekarang ini, jenis hiburan dimanapun cenderung tidak sesuai syariat Islam. Beda dengan zaman Walisanga dulu.
Sambil guyon, Ulin menyebut masyarakat Jepara itu berpola “amar makruf nyambi mungkar/ perintah baik sekaligus mau yang mungkar.” Pasalnya, dalam acara hajatan seperti mantu, sunatan, tasmiyahan, banyak yang menyelenggarakan hiburan orkes, yang, setelah itu mereka juga mengadakan sema’an ngaji khataman Al-Qur’an, tahlilan majmu’ ahlil qubur, manaqib dan lainnya.
Hiburan yang ada pada zaman itu digunakan oleh para wali untuk mengubah masyarakat dari maksiat ke syariat. Kini sebaliknya. Justru pola hidup generasi kita banyak yang berubah 180 derajat dari masa kecilnya yang taat, sejak kenal orkesan.
“Ini karena faktor menjauhi para ulama yang menjadi lampunya dunia,” ujarnya.
Maka, dalam periode ini, JQH terus berusaha menggerakkan para ahli Qur’an agar tradisi-tradisi nahdliyyin tetap dijalankan dalam hidup sehari-hari tanpa menjauhi para ulama. Hijrah dari Orkesan ke Ngaji Sema’an saja. (nujepara/abd)