Menu

Mode Gelap
NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 ) Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat ( 2 )

Esai · 10 Nov 2022 14:37 WIB ·

Indahnya Mendahulukan Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan


 Ilutrasi kemanusiaan dan keagamaan. Credit foto @wahidfoundation Perbesar

Ilutrasi kemanusiaan dan keagamaan. Credit foto @wahidfoundation

Oleh M. Abdullah Badri*

nujepara.or.id – Hasil isjitihad dari agama (ad-din) disebut sebagai cara pandang beragama (at-tadayyun). Meski keduanya saling terkait, harus dibedakan. Pasalnya, cara pandang beragama (keberagamaan) terbatasi oleh akal manusia, konteks dan tujuan. Sementara sumber agama, Al-Qur’an dan Al-Hadits, mutlak benar.

Yang tidak mutlak kebenarannya adalah cara pandang manusia atas agama. Karena agama Islam diturunkan Allah SWT untuk menjaga keseimbangan kehidupan manusia, maka, sudah sepantasnya keberagamaan kita senafas dengan kemanusiaan kita, agar selamat dunia akhirat. Laisal aib fi dinina, walakinnal aib fi tadayyunina (agama kita tidaklah cacat, tapi yang cacat ialah keberagamaan kita). Demikian kata KH. Malik Madani, mantan Khatib Aam PBNU, dikutip dari detik.com

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad, ketika Nabi Saw. berada di tempat persembunyian di Makkah, dikisahkan ada seorang lelaki bernama ‘Amr bin ‘Abasah As-Sulami yang datang dan bertanya langsung kepada Nabi Saw., “Siapakah kamu?” Beliau menjawab, “Nabi”. Saya berkata: “Apakah Nabi itu?” Lalu beliau menjawab, “Rasulullah”. Saya bertanya, “Siapakah yang mengutus kamu?” Beliau menjawab, “Allah Azza wa Jalla”.

Saya bertanya lagi, “Dengan apa?” beliau menjawab, “Agar kamu menyambung silaturrahim, melindungi darah, mengamankan jalan, berhala dihancurkan, Allah semata yang disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya sesuatupun”. Saya berkata: “Sangat bagus risalah yang karenanya kau diutus. Saya bersaksi sesungguhnya saya beriman kepadamu, dan saya mempercayaimu, apakah saya harus tinggal bersamamu atau bagaimana pendapatmu?” Maka beliau bersabda: “Kamu telah melihat kebencian orang-orang atas apa yang saya bawa, maka tinggallah di keluargamu. Jika suatu hari nanti kamu mendengarku dan saya telah keluar dari tempat persembunyianku, datangilah saya”.

Dalam bukunya, Al-Insaniyyah Qoblad Tadayyun (hlm. 201), Habib Ali Al-Jufri menafsirkan matan hadits di atas terkait pentingnya membangun aspek kemanusiaan sebelum misi tauhid dijalankan. Menurut Habib Ali Al-Jufri, menyambung silaturrahim bisa dimaknai dengan menjamin keamanan masyarakat (amanul mujtama’i) atau terciptanya masyarakat yang rukun dan damai. Melindungi darah artinya perlindungan terhadap hak keberlangsungan hidup (ta’minul hayat).

Sementara itu, tafsir dari mengamankan jalan dimaknai lebih luas sebagai keamanan publik, atau rasa aman bagi semuanya (al-amnul aam). Setelah ketiga hal ini tercapai, Rasulullah SAW menyabdakan misi utamanya, yakni: “berhala dihancurkan, Allah semata yang disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya sesuatupun”. 

Dari hadits tersebut nampak jelas misi kemanusiaan Rasulullah SAW, bahwa agama ditegakkan bukan semata untuk golongan umat Islam, tapi rahmat bagi sekalian manusia dan alam.

Habib Ali Al-Jufri menjelaskan, mungkin ada sekelompok manusia yang mengira imannya lebih kuat, tapi jika mengabaikan hubungan kemanusiaan, imannya berada di tepi jurang dan mudah roboh kala diterpa bencana. Mereka belum beriman, tapi hanya berislam (tunduk) saja, seperti pernyataan orang-orang Badui yang tertuang dalam Surat Al-Hujurat ayat 14 itu, kala cobaan datang mendadak, Badui akan lari dari iman karena lemahnya iman. Naudzubillah. 

Sekuat apapun praktik agama kita, bila berbenturan dengan nilai kemanusiaan, hal itu bisa menyebabkan terganggunya keamanan publik, hak hidup dan perdamaian. Apalagi menegakkan tauhid. Jauh panggang dari api tentunya. Tegaknya iman justru karena ada jaminan kemanusiaan yang dijaga bersama. Bagaimana bisa mengistiqamahkan iman di tengah perang berkecamuk? Wiridan saja ketar-ketir, apalagi maulidan dan manaqiban.

Peristiwa yang bisa dijadikan contoh indahnya mendahulukan kemanusiaan sebelum keberagamaan adalah kisah mayshur seorang wanita malam yang diampuni dosanya oleh Allah SWT karena ia menolong anjing kehausan di tengah ia sangat membutuhkan air tersebut. Padahal anjing dalam pandangan agama adalah hewan najis berat. Inilah salah satu bentuk praktik al-ihsan (berbuat baik) yang derajatnya lebih tinggi daripada menegakkan keadilan. 

Dalam kondisi perang pun, Nabi SAW memerintahkan para prajurit perang (Mu’tah melawan Romawi) agar tidak membunuh anak-anak, perempuan, lansia dan seorang rahib yang sedang menyendiri di tempat ibadahnya, serta dilarang merobohkan bangunan umum seperti dilakukan oleh Bangsa Romawi sebelumnya —kepada penduduk yang tidak mau takluk. Jika misi Rasulullah SAW tidak untuk menjaga kedamaian, tentu hal itu tidak diperintahkan beliau. 

Ironi Keberagamaan

Keberagamaan yang menantang kemanusiaan bisa merusak naluri hati yang jernih, cenderung egois dan tidak bisa menarik maslahat umum, yang semuanya itu tujuan daripada ditegakkannya syariat. Syariat Islam mengajarkan manfaat besar bersedekah, tapi, lihatlah, di tangan manusia yang tidak memiliki rasa kemanusiaan, hasil sedekah bisa ditilap dengan aksi yang lebih cepat. 

Sebagaimana diberitakan media massa, orang-orang yang bersedia menjadi martir teroris dan melakukan aksi bom bunuh diri di lokasi umum bukan berasal golongan dari muslim malas beribadah, melainkan dari golongan yang rajin shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, bahkan berfashion nyunnah. Yang rusak dari mereka bukanlah agamanya, tapi cara pandang beragamanya yang jauh dari akal budi kemanusiaan. 

Di Iran, baru-baru ini, ada yang lebih ironis. Seorang wanita harus tewas di tangan polisi setelah disiksa atas nama penegakan jilbab. Kejadian lain ada yang lebih mengerikan. Saat terjadi kebakaran di sebuah asrama putri, banyak dari penghuninya ingin keluar dari jebakan api yang menyerang tidur pulas mereka. Tapi, karena tidak berjilbab, ada pihak yang mencegah mereka meloncat ke lokasi yang aman. Atas nama kewajiban berjilbab, nyawa para penghuni asrama berlantai itu banyak yang melayang sia-sia.  

Fakta sejarah membuktikan, Indonesia adalah negara kesatuan. Di mata kelompok liyan yang mengklaim menganut Islam (versi mereka), NKRI masih dianggap thoghut karena tidak menerapkan khilafah. Padahal Khilafah Ottoman Turki telah diruntuhkan Inggris tahun 1923 M. Rais Akbar Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari mengetahui persis psikologi umat Islam kala itu, tapi fakta membuktikan, beliau lebih menyetujui Indonesia berbentuk negara kesatuan daripada khilafah. Mengapa? Karena beliau lebih mengetahui persis maslahat kemanusiaan atas pilihan beliau tersebut.

Bila ada ustadz muallaf yang menyebut beliau anti Syariat Islam, tanyakan kepadanya tentang cara pandangnya dalam beragama. Bisa dipastikan, banyak yang rancu. Tanpa mengedepankan aspek kemanusiaan, barangkali KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lebih memilih mempertahankan jabatannya sebagai presiden dan membiarkan perang saudara terjadi. Nyatanya tidak. Bagi beliau, kemanusiaan adalah segalanya.

Manusia seutuhnya adalah yang bisa memanusiakan manusia. Orang yang mengaku beragama, ia akan mendahulukan kemanusiaan. Bila tidak seiman, orang lain adalah saudara sesama manusia yang memiliki hak hidup atas nama ukhuwwah basyariyah. 

Walhasil, hikmah besar diutusnya Rasulullah SAW adalah contoh terbaik sebagai manusia (min anfusikum), yang bisa memuliakan bani adam (walaqad karramna bani adam) dengan cara-cara yang baik (wa qulu linnasi husna). Walau banyak dari penentang yang menyakitinya, semua mempercayai beliau. Hatinya saja yang tertutup menerima kebenaran Iman dan Islam. Habib Ali Al-Jufri menyebut hawa nasfu, —yang ia adalah unsur lain dari manusia, bisa mengusai cara beragama (tadayyun), yang akhirnya menggerus sisi kemanusiaan (al-insaniyyah). 

Nah, cara terbaik untuk mengobatinya adalah dengan tidak berhenti belajar dan terus ngaji agar semakin terang. Habib Ali Al-Jufri menulis, “pengetahuan membantu kita menyadari kelemahan dari jiwa, dan kita harus berhati-hati membuat dalih untuknya: balil insanu ala nafsihi bashirah, walau alqa ma’adzirah [Bahkan manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri, dan meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya]”.

Wallahu a’lam.

*Ketua Rijalul Ansor Jepara

Artikel ini telah dibaca 182 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Menyingkap Makna Perintah Membaca dalam Al-Qur’an

24 Maret 2024 - 11:48 WIB

NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang

20 Maret 2024 - 19:56 WIB

Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan?

19 Maret 2024 - 13:50 WIB

Kisah Raden Kusen, Senopati Terakhir Majapahit Saat Menghadapi Gempuran Demak (2)

18 Maret 2024 - 23:03 WIB

Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!!

16 Maret 2024 - 23:52 WIB

Sedulur Papat Limo Pancer, Wejangan Ruhani Sunan Kalijaga

15 Maret 2024 - 00:06 WIB

Trending di Headline