Menu

Mode Gelap
Baznas Jepara Salurkan 400 Paket Sembako untuk Cegah Stunting Cerpen Gus Mus: “Kang Amin” Lakon ‘Sang Naga Samudera’ akan Pentas di Karimunjawa PC ISHARI NU Jepara akan Warnai Festival ‘Todok Telok’ di Karimunjawa dengan Shalawat Romantisnya Hubungan NU dan Ba’alawi di Jepara, Pondasinya Dibangun Keturunan Habib Pengikut Pangeran Diponegoro

Opini · 22 Jun 2019 07:26 WIB ·

Melawan Pasar Bebas Ustadz di Era Sosial Media


 Melawan Pasar Bebas Ustadz di Era Sosial Media Perbesar

Oleh: Muwasaun Niam, Ketua PC PMII Jepara 2017-2018.

Sosial media belakangan ini menjadi tempat yang paling ngetren untuk membagikan keluh kesah maupun cerita pengalaman setiap hari. Asik benar kalau menggunakan sosial media, sebab kita dapat menjelajahi setiap tempat kemudian membagikan pada sosial media. Wes pokoknya asiklah kalau menggunakan sosial media. Terlebih kalau kita mendapatkan informasi baru setiap hari, sehingga kita semakin rajin untuk bersosial media.

Digital Around The World 2019 melaporkan dan merilis sebanyak 150 juta orang di Indonesia menggunakan sosial media. Lebih lanjut, data yang mengejutkan lagi adalah setiap orang memiliki 11 akun berbagai sosial media sosial. Artinya data tersebut menyebutkan setengah dari masyarakat Indonesia telah menggunakan sosial media untuk kegiatan sehari-hari.

Siapa sangka hadirnya sosial media memiliki dampak yang cukup pesat untuk perkembangan bermasyarakat di Indonesia. Ada yang memanfaatkan sosial media hanya untuk menceritakan kegiatan sehari-hari. Ada pula yang menggunakan sosial media untuk meraup rezeki, serta ada pula yang menggunakan sosial media untuk belajar dari para ustadz ngetren. Berkeliarnya beberapa orang yang bermain sosial media kemudian di panggil dengan ustadz membuat beberapa orang mengikuti untuk belajar agama.

Celakanya ada beberapa orang yang belum paham tentang agama kemudian belajar tentang ajaran agama dengan ustadz ngetren. Ustadz ngetren (bilang saja follower banyak) belum sepenuhnya kita ketahui asal muasal tentang orang tersebut. Terlebih lagi, kalau ustadz yang ngetren di sosial media lebih menjadi acuan ketimbang para ulama yang selama ini menjadi panutan. Padahal ada pula beberapa orang di panggil ustadz hanya memiliki pengikut yang banyak. Secara keintlektualan ustadz sosial media masih jauh dari para ustadz maupun kiai yang membimbing masyarakat selama ini.

Lebih dekat dengan ustadz atau ulama yang di sosial media perlu dilakukan untuk memberikan kepaham pada diri kita. Mustofa Bisri atau yang sering disapa Gus Mus mengklasifikasikan ulama ada beberapa (saat diwawancarai di Talk Show Mata Najwa) ada lima yaitu produk masyarakat, produk pers, produk pemerintah, politis dan bikinan sendiri.

Pertama, Ustadz atau ulama produk masyarakat. Gelar ulama ini disematkan seseorang karena dari segi keilmuan dan tingkah lakunya maka ia disebut Ulama’. Kedua, Ustadz atau ulama produk pers. Gelar Ulama ini dimiliki karena seseorang sering tampil di media. Ketiga, Ustadz atau ulama produk pemerintah. Gelar Ulama ini dimiliki karena masuk dalam salah satu organisasi pemerintahan.

Keempat, Ulama atau ustadz produk politis, gelar Ulama’ ini disematkan pada seseorang demi meningkatkan suara pada elektoral orang tertentu. Kelima, ustadz atau ulama’ bikinan sendiri. Gelar ini karena ia menghafalkan beberapa ayat kemudian diceramahkan pada orang lain sehingga ia menyebut dirinya sebagai ulama’.

Meramaikan Pasar Bebas Ustadz

Demi mengimbangi pasar bebas ustadz jadi-jadian di media sosial merupakan tugas yang sangat berat bagi usdadz atau ulama Moderat. Sebab, perlu adanya manajemen yang cukup tertata untuk mendapatkan follower yang banyak dan konten-konten yang disukai masyarakat.

Kebiasaan dari ustadz yang memiliki keilmuan jelas selama ini tausiyah selalu panjang lebar. Sehingga, banyak masyarakat yang bosan untuk menyimaknya. Peluang inilah diambil oleh para ustadz yang berlatar belakang kurang jelas untuk mengambil hati masyarakat dengan konten menarik dan cukup singkat. Manajemen konten berdakwah perlu ditata untuk melawan ustadz abal-abal yang selama ini beredar pasar bebas ustadz di era sosial media.

Pengguna media sosial media waras harus melawan, inilah salah satu cara yang dapat dilakukan bagi kita yang memiliki pemahaman usdadz-ustadz yang harus di ikuti. Kalau masyarakat waras hanya diam, maka ustadz-ustad abal-abal semakin menjadi-jadi sehingga mereka leluasa memberikan informasi yang salah pada masyarakat.

Perlawanan yang bisa dilakukaan dengan cara-cara simpel, dengaan ikut menyebar luaskan konten-konten ustadz maupun ulama yang jelas ke sosial media yang kita miliki. Sehingga masyarakat pun lebih mengetahui siapaa yang haru diikuti dan siapa yang harus mulai ditinggal sejak kini.

Secara simpelnya kalau ingin belajar pada ustadz atau ulama’ sesungguhnya mari kita belajar pada selama ini membimbing kita. Misalnya di organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama telah merilis beberapa ustadz yang harus di ikuti oleh masyarakat yang bermain sosial media. (*)

Artikel ini telah dibaca 7 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

The Root of The Peak dalam Konsep Keilmuan

7 Juni 2024 - 11:08 WIB

Akselerasi Khidmah NU dan Keberjamaahan

17 Februari 2023 - 05:47 WIB

Hari Santri Nasional Dan Pembangunan Peradaban

24 Oktober 2022 - 04:21 WIB

Shiddiqiyah : Thoriqoh Yang Mu’tabar (otoritatif) ataukah yang “nrecel” (Keluar Jalur) ?

15 Juli 2022 - 07:58 WIB

Jepara, Investasi Agrobisnis dan Jihad Pertanian NU

30 Mei 2022 - 02:50 WIB

Santri dan Filologi Islam Nusantara

25 April 2022 - 03:21 WIB

Trending di Hujjah Aswaja