Menu

Mode Gelap
Baznas Jepara Salurkan 400 Paket Sembako untuk Cegah Stunting Cerpen Gus Mus: “Kang Amin” Lakon ‘Sang Naga Samudera’ akan Pentas di Karimunjawa PC ISHARI NU Jepara akan Warnai Festival ‘Todok Telok’ di Karimunjawa dengan Shalawat Romantisnya Hubungan NU dan Ba’alawi di Jepara, Pondasinya Dibangun Keturunan Habib Pengikut Pangeran Diponegoro

Opini · 29 Jun 2019 04:21 WIB ·

Memaknai Bada Apem


 Memaknai Bada Apem Perbesar

Oleh M. Dalhar, Pegiat Isykarima Historische Studies Jepara dan Warga Nahdliyin Jepara

Bagi sebagian masyarakat mungkin perayaan “Bada Apem” terkesan aneh dan tidak memiliki akar historis. Akan tetapi, bagi masyarakat Jepara itu sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun. Setiap daerah memiliki hari yang berbeda. Umumnya dilaksanakan pada hari Jum’at Wage di Bulan Dzulqo’dah atau yang juga dikenal dengan sebutan bulan Apit.

Subuh terasa begitu dingin di desa penulis, Banjaragung. Meski bukan wilayah pegunungan, namun udara pagi serasa di puncak gunung, dingin. Tidak hanya di Banjaragung, anomali cuaca yang terjadi beberapa hari belakangan juga terjadi di sebagian besar wilayah negara ini. Di tengah balutan hawa dingin, suara alunan shalawat dan kasidah religi menggema di berbagai penjuru mushalla dan masjid desa memecah kebekuan. Ada sesuatu yang tidak biasa.

Terkesan ada kesepakatan dari para takmir masjid untuk membuat kegiatan pagi itu. Usut punya usut, ternyata pagi itu dirayakan Bada Apem. Tahun ini, tradisi makan apem bersama dilaksanakan pada bulan Syawal. Alasannya karena di bulan Dzulqo’dah tidak terdapat Jumat Wage. Sangat tampak bahwa tradisi ini berkaitan erat dengan kebudayaan Jawa. 

Suara-suara yang keluar dari corong pengeras suara menjadi magnet yang menarik masyarakat setempat untuk segera merapat. Satu per satu masyarakat keluar rumah dengan membawa apem menuju mushalla atau masjid terdekat.

Ritual Bada Apem tidak jauh beda dengan Bada Kupat beberapa pekan yang lalu. Ada banyak kesamaan. Warga yang datang membawa berbagai keperluan yang dibutuhkan untuk disajikan di mushalla atau masjid. Merayakan keduanya tidak hanya diisi dengan makan-makan, tetapi yang lebih penting adalah doa bersama. Doa yang dilantunkan tidak hanya untuk warga yang hadir, tetapi juga mendoakan para ahli kubur dari para jamaah.

Apem yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa kemudian dibagikan kepada warga yang hadir. Ada pula yang menggunakan wadah besar (baca: tapsi) untuk dimakan bersama. Tidak ada ketentuan baku dalam cara memakan apem yang sudah dipersiapkan.  Lazimnya yang mempersiapkan sajian apem adalah kaum perempuan. Dengan naluri yang dimiliki berbagai jenis apem dan kuah diracik sehingga menjadi menu siap saji.

Modifikasi

Bada Apem atau pun Bada Kupat merupakan ekspresi budaya dari masyarakat pada zamannya. Sehingga, tidak akan didapati pada syariat agama. Akan tetapi, nilai-nilai yang ada di dalamnya – sekurang-kurangnya doa bersama dan kebersamaan – diajarkan dalam agama.

Menelusuri kehadiran tradisi Bada Apem di kawasan Jepara bukan sesuatu yang mudah. Diperlukan penelusuran historis terkait dengan tradisi yang dipercaya sudah diwariskan dari generasi ke generasi tersebut. Dan itu bukan perkara yang mudah.

Berdasar atas waktu pelaksanaan dan acara yang dilakukan, tampak sangat erat hubungan antara Islam (doa bersama) dengan kebudayaan Jawa (Jumat Wage). Jika memang benar demikian, kesulitan utama dalam melacak tradisi Bada Apem adalah jarak masa kejayaan Jepara sebagai kerajaan Islam di pesisir utara Jawa yang begitu jauh, sekitar abad ke-15. Naskah-naskah pun tidak banyak ditemukan.

Yang terjadi kemudian adalah cerita tutur yang berkembang menjelaskan bahwa tradisi Bada Apem diciptakan agar masyarakat dapat kembali saling memaafkan. Mengingat, kata apem konon diambil dari bahasa Arab, afwu yang berarti maaf. Fakta ini semakin menguatkan bahwa harmonisasi antara Islam dan Jawa sudah lama terjalin. Melalui bahasa salah satunya.  

Memahami Bada Apem yang ada di tengah-tengah masyarakat Jepara dapat dipahami dari sudut pandang budaya. Sesuatu yang sudah menjadi budaya, apakah itu diketahui nilai filosofis atau tidak, akan menjadi rutinitas yang tidak diperlukan lagi pertanyaan untuk menjelaskan. Seakan, apapun jika sudah dikemas dengan budaya akan menjadi sesuatu yang mafhum tanpa perlu diperdebatkan.

Kita dapat membayangkan bahwa dulu apem menjadi makanan “istimewa” pada masanya. Sejak kapan, bagaimana, dan mengapa, menjadi pertanyaan besar yang dapat terus ditelusuri akar sejarahnya.

Dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi Bada Apem sudah akrab di tengah masyarakat Jepara pada khususnya. Perubahan zaman yang begitu cepat perlu juga direspons dengan melakukan kreativitas atau modifikasi dalam tradisi Bada Apem yang sudah baik tersebut. Misalnya dengan menyediakan berbagai jenis apem dengan aneka rasa atau dibuat festival apem. Dan masih banyak lainnya. Jangan sampai karena rasa yang biasa-biasa lantas kemudian tradisi Bada Apem ditinggalkan. (*)

Artikel ini telah dibaca 8 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

The Root of The Peak dalam Konsep Keilmuan

7 Juni 2024 - 11:08 WIB

Akselerasi Khidmah NU dan Keberjamaahan

17 Februari 2023 - 05:47 WIB

Hari Santri Nasional Dan Pembangunan Peradaban

24 Oktober 2022 - 04:21 WIB

Shiddiqiyah : Thoriqoh Yang Mu’tabar (otoritatif) ataukah yang “nrecel” (Keluar Jalur) ?

15 Juli 2022 - 07:58 WIB

Jepara, Investasi Agrobisnis dan Jihad Pertanian NU

30 Mei 2022 - 02:50 WIB

Santri dan Filologi Islam Nusantara

25 April 2022 - 03:21 WIB

Trending di Hujjah Aswaja