Oleh: Abdul Wahab Saleem
Persis seperti malam 31 Januari yang lalu, kami orang kampung(an) ini, malam 16 Rajab semalam, bermuhasabah dan beristighatsah bersama secara sederhana, dengan senampan nasi tumpeng dan beberapa nampan “sego rambanan” khas makanan “ndeso”, lengkap dengan kopi hitamnya. Kelezatannya tentu tak semata-mata diukur dari bahan dan bumbu, tetapi juga dari “rasa” kebersamaan dan kesaudaraan yang tulus tak berpura.
NU muncul bukan saja melalui dimensi dzahir, tetapi juga melewati rangkaian olah spirutual para ulama khass, sehingga satu sisi NU itu “mbarokahi” bagi yang menjaga dan merawatnya, di sisi lain “malati” bagi yang “mempermainkannya”.
Ketika aku berupaya -seingatku- menceritakan bagaimana sisi-sisi historis organisasi ini lahir, terlihat para warga seakan merindukan sosok-sosok ulama panutan yang memiliki spirit pengabdian dan perjuangan semulia para pendiri NU.
Semangat juang yang dilakukan itu bersih dari “kepentingan” dan “keuntungan” pribadi, beliau-beliau sadar betul sebagai pewaris Nabi, sehingga berdiri di tengah-tengah umat sebagai tauladan, mengajak dengan “laku” tanpa merasa paling. Umat adalah keluarga besar bukan bawahan yang bebas direndahkan.
Spirit sebagaimana yang tergambar di atas lah yang seyogyanya terpatri sekaligus terlihat pada para “elit” NU saat ini, janganlah selalu melihat umat dengan pandangan “kelemahan”, jangan merasa bahwa elit adalah berdaya dan paling NU, sementara umat adalah awam dan harus di-NU-kan, karena bisa jadi umat yang diawamkan itu justru beneran NU dan NU-nya bener, dan elit-elit itu malah hanya “sok NU” dan NU-nya bo-sok.
Saling merangkul dan mengapresiasi serta menginspirasi adalah hal fundamental yang harus dibangun bersama. Kata para sepuh, harus ada keseimbangan dalam “menstrukturkan kultur” dan “mengkulturkan struktur”.
Selamat harlah NU-kita,
Barik lana ya Rabbana.
(Ketua Ranting NU Jinggotan 1).