Oleh : Kiai Hisyam Zamroni
nujepara.or.id – Agama, disamping dipahami melalui teks wahyu, juga bisa dipahami melalui prilaku sosial pemeluk-pemeluknya. sebagaimana al Qur’an menggambarkannya;
“Laqod kana lakum fi Rosulillahi uswatun hasanatun…. Ila akhirihi”
Prilaku keberagamaan seseorang menjadi penting sebagai “tanda” mencari “sisik melik” sebuah “definisi” agama bahkan menjadi “tanda” apakah agama tersebut mampu menjawab tantangan dan problematika sosial, hukum, ekonomi, politik dan lain lain yang perkembangannya sangat pesat.
Sejarah telah membuktikan bahwa “agama” di satu sisi bisa menjadi “pengekang” kemajuan, di sisi lain “agama” mampu mendorong menjadi sebuah kekuatan inovasi dan pengembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Nah, sekarang bisa dilihat, banyaknya orang memahami agama justru “mundur” jauh ke belakang yaitu mundur ke masa “pra-agama” yang “gelap-gulita” sehingga kembali menjadi manusia manusia “primitif” yang kemudian seakan akan itu adalah sebagai “ajaran agama” yaitu menafikan relasi sosial yang santun, lembut dan menafikan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Olehnya, konsep “uswatun hasanah” yang menjadi ciri “interpersonal care” Kanjeng Nabi Muhammad Rosulillah SAW menjadi penting dalam rangka melihat secara utuh bahwa “pribadi” yang mempunyai keteladanan baik berupa prilaku sosial yang baik, prestasi, inovasi dan kreatifitas yang didalam al Qur’an disebut “amal sholih”, “ahsanu amala” dan “ahsanu taqwim” menjadi salah satu nilai dan gambaran bahwa “agama” tidak menjadikan manusia stagnan, jumud atau “mabni” melainkan menjadikan manusia berkembang dan berubah, responsif dan maju atau “mu’rob”.
Hal yang penting dipahami sekarang ini bahwa orang menilai dan mendefinisikan “agama” boleh jadi salah satu yang menjadi sampel dan tolok ukurnya adalah pada pola pikir dan prilaku orang orang beragama dalam kehidupannya sehari hari.
Semoga Gusti Allah SWT menganugrahkan kepada diri kita prilaku prilaku yang baik dan terbaik untuk kemanfaatan bagi sesama. Aamiin Aamiin Aamiin.