nujepara.or.id – Sudah 145 tahun usia Kartini, yang terlahir pada 21 April 1879 di Desa Mayong Kabupaten Jepara diperingati bangsa Indonesia. Terlahir dari seorang ayah bernama RM. Sosroningrat keturunan bangsawan Jawa yang kemudian menjadi bupati Jepara, dengan ibunda bernama Nyai Ngasirah yang merupakan keturunan ulama.
Kartini pernah mengaji dengan ulama dari guru segala guru, yaitu Kyai Sholeh Darat Assamarani atau Mbah Sholeh Darat dari Semarang. Ulama keturunan Kyai Umar dari Mayong Jepara ini, juga menjadi guru dari Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU dan juga guru dari KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah. Oleh karenanya, Kartini, NU, dan Muhammadiyah adalah muara didikan dari ulama yang dimakamkan di bukit Bergota Semarang.
Sebagai akibat keterkaitan sebagai murid dari ulama berpengaruh itu, muncul gugatan tentang gaya busana Kartini. Kebaya tanpa jilbab dengan mempertontonkan perhiasan telinga dan leher terbuka, seolah mencitrakan bukan sebagai santri atau menjalankan ajaran Islam secara sempurna.
Kartini adalah santri terpilih, yang karena pernikahannya dengan R.M. Ario Singgih Djojo Adiningrat selaku bupati Rembang pada 12 November 1903, menerima tulisan tangan tafsir Qur’an berbahasa Jawa dengan aksara Arab pegon berjudul “Faidhur Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik Addayyan“. Dalam tafsir inilah sangat membekas Surat Al Baqarah ayat 257 yang sering dikutip.
Ayat favorit Kartini itu menjelaskan bahwa Allah adalah pelindung orang yang beriman, mengeluarkan dari kegelapan kepada cahaya keimanan. Tulisan-tulisan Kartini melalui korespondensi surat dan gagasannya di sejumlah jurnal internasional, dibukukan oleh sahabatnya bernama J.H. Abendanon pada 1911 berjudul “Door Duisternis Toot Licht” atau Dari Gelap Menuju Cahaya. Buku kepala dinas pendidikan Hindia Belanda itu diterjemahkan oleh Armijn Pane pada 1938 menjadi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Perdebatan tentang tren berpakaian tentu menarik. Pada satu sisi, tradisi kebaya yang menjadi model dalam semua foto Kartini merupakan pergeseran tren dari kemben atau ikat kain sebatas dada perempuan, yang kemudian ditutup dengan baju longgar belah depan. Penyebutan nama pakaian kebaya dianggap berasal dari kosakata Arab, yaitu “kaba” yang berarti pakaian, dan “abaya” yang berarti gamis longgar. Dengan demikian, kebaya diartikan sebagai pakaian yang longgar namun digunakan khusus bagi perempuan.
Kebaya dalam pergeseran model pakaian, semula digunakan dalam tradisi kesultanan Islam di Jawa untuk menutup punggung bagian belakang sekaligus atas dada bagian depan. Adopsi pakaian muslim Jawa itu kemudian diikuti kalangan suku Melayu sampai Aceh dan Johor. Catatan penyebaran kebaya Jawa itu sebagaimana ditulis oleh Thomas Stamford Bingley Raffles pada 1817 dalam perdagangan di kawasan rumpun Melayu. Raffles sendiri dianggap sebagai perintis kawasan yang sekarang dikenal sebagai Singapura.
Kebaya merupakan jalan dakwah ulama Nusantara pada masa lalu, untuk membangun damai dalam menutup kehormatan perempuan. Pada 1900-an misalnya, dokumentasi video maupun foto masih mempertontonkan perempuan Bali, Dayak, Papua, Batak, dan sebagian Jawa masih berpakaian telanjang dada. Tren berbusana kini telah berubah dengan memadukan kebaya sebagai penutup dada perempuan, baik dalam acara ritual adat maupun ritual peribadatan. Tentu, norma susila dan norma kesopanan di tengah masyarakat akan berkembang seiring dengan tata nilai yang berkembang nantinya. Demikian juga tren berbusana bagi sebagian besar kalangan perempuan Indonesia saat ini, yang mengintegrasikan antara nilai agama, nilai adat, dan nilai kesopanan di setiap komunitas masyarakat.
Dr. Muh Khamdan
(Pengurus LTN NU Kecamatan Nalumsari dan Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)