Menu

Mode Gelap
Kyai Mukhammad Siroj: Sosok Pendidik, Pengabdi dan Teladan Sehidup Semati Sorban Kiai Hijau dan Tali Tambang, Ini Makna Logo Harlah Ke-102 NU, Bisa Diunduh di Sini Jadwal Puasa Rajab 1446 H/2025, Beserta Niat dan Caranya Mahasiswa PAI UNISNU ikuti Kuliah Komparasi Aswaja Komunitas Muslim di Negeri Beruang Merah, bareng Dr. Amy dari PCINU Federasi Rusia Tanggap Bencana, PCNU Jepara Gelar Rakor, Jalin Sinergi dengan Pemerintah dan Elemen Lainnya

Kabar · 6 Nov 2022 14:26 WIB ·

Sastra Hizib dan “Berhala” Para Penyair (2)


 Sastra Hizib dan “Berhala” Para Penyair (2) Perbesar

Oleh : Murtadho Hadi*

Sekali lagi ditegaskan: di luar sastra yang konvensional dan “baku” (kalau kita lebih jeli) masih banyak sisi-sisi yang belum terungkap (dari bentuk-bentuk karya sastra) yang seandainya diselidiki ternyata nuansa sastranya sangat kental.

Diketahui, lahirnya “Sastra Hizib”  atau “munajat-munajat” para Auliya itu, dalam banyak situasi hampir mirip dalam tradisi sastra lisan di mana “bahasa meluncur dengan derasnya” seolah “gagasan” dan “ide”  sudah terpatri jauh dalam ingatan sehingga “rima”, diksi, dan idium itu bagaikan buah yang sudah masak, tinggal memetik saat kapan dibutuhkan.

Dikisahkan, Syaikh Imam Syafi’i pernah dihina oleh seorang tukang cukur (sang pemilik salon), hanya karena bertampang seperti seorang faqir (usai menempuh perjalanan jauh, jubah kumal  berdebu, surban masih acak-acakkan sehabis mengusung kitab-kitab), di situlah Sang Imam ditolak mentah-mentah ketika hendak masuk ke sebuah salon.

Maka Sang Imam pun bergegas meninggalkan pemilik salon sembari mendendangkan sebuah syair, “Amthiri lu’lua Jibala Sarondib!” : Hujani aku dengan butiran-butiran permata sebesar gunung Sarondib. Banjiri aku dengan butiran-butiran emas jikalau napas masih melekat, rezeki tak pernah beranjak dariku jikalau aku mati, maka kuburan akan menantiku.

Sebagaimana syair dalam tradisi sastra lisan, Hizib itu pun lahir dalam spontanitas, bagai bahasa yang meluncur dalam kemurniannya.  Itulah yang membedakan antara Sastra Hizib dan “berhala” para penyair untuk konteks saat ini. Terkadang para penyair (sekarang) ketika menulis puisi di benaknya sudah terdesain “panggung” dan “setting” serta riuh tepuk tangan penonton.

Maka benar penyair-penyair  itu adalah seperti  yang disindir Al-Qur’an: “Wassyu’aroo’u yattabi’uhumul-ghowuun!” (Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu!)
. Selanjutnya dari para penyair seperti itu, kita sudah bisa membayangkan apa yang akan ditulis.

Sekedar apologi, toh itu bisa dikatakan sebagai sifat “kanak-kanak” para penyair? Berikut kita sedikit menziarahi “maqolah” dan nazhom-nazhom yang pernah didendangkan oleh Syaikh Imam Syafi’i (fuqoha yang sastrawan juga). Karena yang terpenting bukan “nuasa puitisnya” akan tetapi “gagasan” dan pemikirannya yang agak sedikit berbentuk prosa. Toh begitu dialihkan-bahasakan, bukankah “matra” atau “bahr” dari langgam-langgam tembangnya sudah hilang?

CENDEKIAWAN

Sesungguhnya yang disebut faqih adalah orang yang konsisten dalam tindakannya terhadap ilmu. Tak ada faqih karena kecanggihan narasi dan sekedar pandai berteorisasi.

Begitu juga yang paling penting dari pemimpin adalah suri tauladannya. Tidak disebut kepemimpinan jika hanya sekadar mengandalkan banyaknya kaum dan pengikut. Begitupun yang disebut kaya adalah kemurahannya. Tak bisa disebut kaya seseorang yang mengandalkan “jabatan” dan “harta benda”.

TOTALITAS

Jika hidupku sudah ditanggung pada hari ini, maka Ya Allah, bersihkahlah diriku dari segala hasrat dan keinginan hari nanti.
Janganlah terlintas untuk meraih sesuatu untuk esok hari. Sebab esok tentulah ada rezeki yang baru.
Segalanya kupasrahkan kepada-Mu, Ya Allah.Maka kulepaskan kehendakku demi irodah-Mu.

Si BEBAL

Suatu ketika, Si Bebal memberi “kuliah” kepadaku dengan segala kebebalannya.Sedang ia mesti tidak senang bilang bila pendapatnya diluruskan, aku tiada menggubrisnya.
Ia semakin bebal saja, dan aku bertambah bijak. Seperti halnya kayu Cendana, jika semakin hangus engkau membakarnya, semakin harum pula baunya.

MORALITAS

Àku terdampar di tengah sekawanan orang-orang dungu yang tak punya wawasan moralitas sama sekali. Mereka menilai kaki adalah kepala dan kepala adalah kaki. Hanya karena kesamaan bentuk seseorang digolongkan menjadi bangsa manusia. Tetapi akal, adab, kedirian tentulah beda satu sama lain.
Laksana kemilau emas yang membedakan dirinya dengan jenis logam lainnya. Dan lihatlah kayu Cendana itu, jika bukan karena baunya yang istimewa tentulah manusia tak bisa membedakannya dengan kayu bakar.

*Sastrawan, dan pengurus LTN NU Jepara)

Artikel ini telah dibaca 21 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Harlah NU dan Haul Gus Dur Digelar Bersama, PCNU Jepara Ajak Teladani Para Pejuang NU

16 Januari 2025 - 07:32 WIB

IPNU-IPPNU Ranting Pekalongan Gelar Festival Rebana Tradisional Ke- 2, Ini Daftar Juaranya

11 Januari 2025 - 23:52 WIB

Sorban Kiai Hijau dan Tali Tambang, Ini Makna Logo Harlah Ke-102 NU, Bisa Diunduh di Sini

8 Januari 2025 - 06:11 WIB

Logo Harlah Ke-102 NU.

Jadwal Puasa Rajab 1446 H/2025, Beserta Niat dan Caranya

31 Desember 2024 - 07:14 WIB

ILUSTRASI proses rukyat untuk menentukan awal bulan Rajab.

Mahasiswa PAI UNISNU ikuti Kuliah Komparasi Aswaja Komunitas Muslim di Negeri Beruang Merah, bareng Dr. Amy dari PCINU Federasi Rusia

13 Desember 2024 - 10:01 WIB

Tanggap Bencana, PCNU Jepara Gelar Rakor, Jalin Sinergi dengan Pemerintah dan Elemen Lainnya

9 Desember 2024 - 22:41 WIB

Jajaran NU - Peduli Bencana PCNU Jepara menggelar rakor seiring potensi terjadinya bencana imbas hujan dengan intensitas tinggi yang mengguyur wilayah Jepara dalam beberapa hari terakhir.
Trending di Hujjah Aswaja